#29 Cerita Dibalik Touring Indonesia Harmoni: Rute Pulau Jawa

Rupanya, Dr. Tabrani telah berkoordinasi dengan Kapolres Kota Cirebon, untuk memesankan hotel di Kota Cirebon. Jadi, kami harus menginap di Kota Cirebon, bukan di Kabupaten Cirebon. Sekali lagi, lokasi hotel harus segera kami dapatkan, di sore hari, saya harus menguji disertasi di Banda Aceh melalui aplikasi Zoom Meeting. Karena dilakukan secara online, maka saya hanya perlu mencari penginapan dan langsung check in ke salah satu hotel di kota ini. Ujian disertasi berlangsung sampai sore hari. Kesempatan ini saya gunakan untuk bersilaturrahmi dengan para guru besar yang menjadi penguji disertasi secara virtual. Kebetulan mahasiswa yang diuji adalah bimbingan saya bersama Prof. Mukhsin Nyak Umar, yaitu Dr. Zubir, dosen IAIN Langsa.
Kesempatan bertatap muka dengan kolega di Aceh memang sangat saya tunggu-tunggu, sebab dengan demikian, kami akan saling berbagi kabar. Mereka bertanya bagaimana keadaan perjalanan kami selama meninggalkan Banda Aceh. Salah satu dosen yang sangat antusias bertanya adalah Prof. Hamid Sarong, yang belakangan saat kami kembali, guru besar Fakultas Syariah dan Hukum meninggal dunia pada tanggal … Selama kami touring, ada beberapa guru-guru di UIN Ar-Raniry yang meninggal dunia, yaitu Prof. Dr. Farid Wajdi, Andika Prajna, Fuadi…Tentu ini membawa kesedihan berarti bagi perjalanan ini. Sebab para almarhum tersebut merupakan karib kami di kampus UIN Ar-Raniry.
Pada saat yang sama di dalam hotel Aston Cirebon, kami mempelajari bagaimana rute ke Pulau Kalimantan. Harus diakui bahwa PPKM Level 4, telah menyebabkan beberapa kota di Indonesia melakukan penyekatan di perbatasan, ketika masuk kota-kota tersebut. Kami berniat untuk masuk ke Kalimantan melalui Semarang. Sebab, kalau ke Surabaya tentu akan menggoda kami untuk terus ke Pulau Bali. Adapun Surabaya kami targetkan menjadi tempat kami kembali saat selesai Touring, untuk masuk dari Indonesia Timur.
Akhirnya, keputusan untuk menyeberang ke Kalimantan dari Semarang ditetapkan dengan berbagai syarat dan ketentuan. Misalnya, ada hanya kapal yang ke Kumai (Kalimantan Tengah), tidak ada yang ke Pangkalan Bun (Kalimantan Barat), yang boleh membawa kendaraan dan penumpang. Adapuan ke Kalimantan Barat hanya boleh barang saja. Keesokan harinya, dari kota Cirebon kami bergegas menuju ke Kota Semarang, melalui jalan Pantura (Pantai Utara) pulau Jawa.
Jadwal kapal harus diburu, karena begitu kami ketinggalan kapal, maka akan berimpak kepada seluruh situasi perjalanan kami. Jalanan Pantura kami libas beberap jam, hingga sore hari kami sampai di Kota Semarang. Kami pun memilih target utama adalah kantor Dharma Lautan Utama, untuk memastikan jadwal dan persyaratan naik kapal. Begitu sampai, petugas keamanan langsung mengatakan bahwa kapal yang berangkat ke Kalimantan esok hari. Syaratnya adalah PCR dan Surat Vaksin Covid.
Kami kemudian memutuskan untuk tetap berangkat besok, dengan konsekuensi harga PCR yang mungkin akan sedikit mahal, jika dibandingkan dengan harga normal. Oleh sekuriti, kami diberitahu lokasi PCR di salah satu lab kesehatan di Kota Semarang. Kami langsung menuju ke tempat tersebut. Disitu, kami pun hampir tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa melakukan tes PCS dengan hasil yang super cepat. Kami pun mencoba bernegosiasi dengan mengatakan bahwa kalau kami gagal menyeberang besok, maka akan berdampak pada Touring Indonesia Harmoni.
Kami pun menampakkan Surat Tugas dari BNPT. Staf yang baik hati, memberikan kepastian bahwa kami bisa tes PCR dan hasilnya dapat diperoleh besok pagi. Namun, harganya mencapai Rp. 900.000. Saya langsung mengiyakan. Kami pun melakukan semua prosedur yang dimintan tes PCR. Setelah semua urusan tersebut rampung, kami mencari penginapan untuk bermalam di kota Semarang, sambil berdoa bahwa hasil tes bisa didapatkan esok pagi dan hasilnya negatif. Begitu sampai di penginapan, saya memberitahukan kedatangan kami pada Ketua FKPT Jawa Tengah, Prof. Syamsul Ma’arif. Dia kaget karena kami memberitahukan secara mendadak. Sebab FKPT Jateng ingin menyambut kami secara resmi.
Strategi ini saya lakukan supaya lebih fokus pada proses penyeberangan kami, ketimbang seremoni penyambutan oleh FKPT Jateng. Prof. Syamsul kemudian mengajak makan malam bersama pada satu restoran di kota Semarang. Setelah makan malam, kami diajak ke pesantren yang dikelola oleh Prof. Syamsul. Kami pun berbagi cerita. Kebetulan dia satu payung dengan saya, yaitu di Kementerian Agama. Dia dosen di UIN Walisongo, Semarang. Sembari kami bersilaturrahmi, salah seorang mantan napiter menyambangi kami di kediaman Prof. Syamsul. Akhirnya, diskusi semakin menarik.