Setelah
jam 5 sore, saya pamit ke Iflah untuk menuju Yogyakarta. Jarak ke kota Gudeg
ini tidak lama, cuma 1 jam. Sebenarnya, sore hari saya mau bersilaturrahmi ke
karib saya Anhar Saifuddin di kediamannya di Berbah, Sleman. Tujuannya adalah
begitu selesai silaturrahmi, kami bisa langsung mencari hotel. Namun rencana
tersebut bergeser. Begitu memasuki jalan Solo, persis di depan Kampus UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, azan magrib berkumandang. Akhirnya, kami memutuskan untuk
mencari hotel, tidak jadi ke rumah Anhar. Sebab, tidak elok bertamu pada saat
magrib, terlebih lagi baju kami sedikit kebasahan.
Setelah
mendapatkan penginapan di salah satu sudut kota Yogyakarta, kami pun berencana
istirahat. Besok kami akan bersilaturrahmi. Namun, tiba-tiba HP saya berbunyi.
Anhar menanyakan posisi dan meminta untuk segera ke rumahnya. Kami sudah
ditunggu sejak sore hari. Saya mengatakan situasi yang kami hadapi. Dia
mengerti. Akan tetapi, Anhar bersikukuh meminta kami ke rumahnya, sebab sudah
disiapkan makan malam. Kalimat terakhir ini yang membuat kami di kamar
penginapan untuk langsung mengiyakan permintaan Anhar. Ketika berada di dalam
kota, Nyak Ver memang tidak saya ajak keliling. Dia dibiarkan beristirahat di
penginapan.
Setelah
memesan taksi online, kami bergegas ke rumah Anhar. Dia memang karib yang sangat
dekat dengan saya, sejak kuliah di Yogyakarta. Setiap saya masuk ke Yogyakarta,
saya pasti akan bertemu dengan Anhar. Saat ini, Anhar sudah menjadi abdi dalem pada keraton Yogyakarta. Dia
bertugas sebagai orang yang mendoakan setiap ada hajatan di keraton. Namun
pekerjaannya tidak banyak yang tahu, terutama oleh kawan-kawan alumni. Karena
itu, saya selalu mendatangi Anhar untuk sekedar bersilaturrahmi. Dia sudah
beberapa tahu mengabdi di Keraton.
Setelah
sekitar 30 menit, kami sampai di rumah Anhar. Begitu masuk ke rumahnya, kami
langsung disambut oleh makanan yang sudah tersedia di hadapan kami. Inilah
alasan mengapa Anhar memaksa kami untuk datang ke rumahnya. Kami saling
bertukar cerita. Saya dengan penuh antusias mendengarkan cerita Ahnar sebagai
abdil dalem. Sebagai petugas keraton, dia sudah ditukar nama menjadi Ngabdul
Khamid. Selama satu minggu, dia hanya piket satu hari di keraton. Gajinya Cuma
Rp. 10.000. Dia masih menyimpan gajinya dari Sultan dari amplop. Ini adalah
wujud kebangaannya bisa menjadi abdi dalem. Beberapa materi pelatihan menjadi
abdi dalem diperlihatkan. Saya meminta beberapa bahan tersebut untuk dikopi.
Cerita
menjadi abdi dalem memang jarang terdengar bagi kita sebagai bukan orang Jawa.
Bahkan keberadaan Anhar cukup unik, sebab dia bukan dari Yogyakarta, melainkan
dari Jawa Timur. Saat lulus menjadi abdi dalem, oleh pihak dalam keraton, dia
diminta untuk mempelajari tata bahasa keraton Yogyakarta, yang sangat halus.
Demikian pula, pakaian Anhar saat bertugas sebagai pendoa pun berubah total.
Dia memakai baju putih, ibaratnya seperti ulama besar. Ketika dia menampakkan
beberapa pejabat yang pernah ke keraton Yogyakarta, dimana dia berada di
samping pejabat tersebut, menunjukkan bagaimana status dan akses yang dimiliki
oleh Anhar di dalam dunia keraton Yogyakarta.
Menjelang
pukul 10 malam, kami pamit untuk pulang ke penginapan. Anhar juga memaksa kami
untuk menginap di rumahnya. Namun, saya tolak bahwa kami sudah mendapatkan
penginapan di sekitar Gejayan. Setelah pulang ke penginapan, saya mengirimkan
beberapa foto kami di grup alumni. Mereka yang di Yogyakarta mulai heboh, sebab
saya berkunjung ke rumah Anhar. Karib saya ini memang tidak begitu
mempublikasikan pekerjaannya sebagai abdi dalem. Namun, sayup-sayup beberapa
alumni ada yang paham bahwa pekerjaan Anhar di dalam keraton Yogyakarta.
Beberapa kawan seangkatan saya, hampir semuanya yang tinggal di Yogyakarta,
menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga.