Bagaimamana Pengalaman Pemilu di Aceh Tahun 2009

Saya ingin menulis tentang sebuah renungan bagi rakyat Aceh, semoga dalam melangkah tahun 2009 lebih baik daripada 2008 ini. Ada beberapa hal yang akan terjadi di Aceh pada tahun depan, yang mungkin menuntut kadar kedewasaan sosial dan politik. Pertama, tahun depan kita akan memilih wakil rakyat yang akan duduk di tingkat kabupaten, propinsi, dan nasional. Semua energi kemanusiaan kita akan diarahkan pada proses pemilu di tingkat kabupaten. 

Sebab, dalam hal ini, Aceh akan lebih banyak bagaimana menjembatani kepentingan partai lokal di tingkat kabupaten dan propinsi. Tentu saja, harapan kita adalah wakil rakyat yang akan dipilih adalah mereka yang pintar melakukan ‘interupsi’ ketika sidang, namun bagaimana mereka mengerti betul persoalan yang sedang didera oleh rakyat Aceh. Dalam hal ini, kemampuan wakil rakyat yang akan berlaga di panggung politik lokal juga perlu diambil kira, supaya dewan rakyat tidak menjadi ‘taman kanak-kanak’ – meminjam istilah Gus Dur. 
Kedua, energi pemilu tahun depan akan menyorot tiga hal yaitu kemampuan caleg dalam mengusung isu-isu lokal, kesamaan visi dan misi dalam menatap masa depan Aceh, dan bagaimana mempertahankan perdamaian yang sudah dirintis selama 3 tahun terakhir. Karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan tahun depan, akan menjadi tahun yang cukup ‘melelahkan’ tidak hanya bagi caleg dan rakyat, tetapi bagi para pencinta damai di Aceh. 
Kehadiran Partai Lokal yang boleh jadi tidak akan memberikan sifnifikansi politik di tingkat nasional, namun pada level daerah, kehadiran mereka cukup memberikan perhatian yang banyak. Tentu saja, mesin politik nasional lebih kuat, namun pertimbangan Pilkada tahun 2007 lalu boleh jadi menjadi dalil kuat, betapa berbeda-nya eskalasi politik Aceh dengan eskalasi politik di tingkat nasional.
Untuk itu, tiga hal di atas, semestinya dijadikan sebagai dasar pemikiran para caleg yang akan berkampanye nantinya. Apapun bola politik yang dimainkan, namun isu-isu lokal harus dijadikan prioritas. 
Misalnya, akses masyarakat dan kesejahteraan mereka dalam roda pemerintahan, perlu dianggap hal serius. Sebab wakil rakyat akan menjadi corong kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai mereka.
Demikian pula, visi-misi untuk membangun Aceh Baru yang tidak melupakan sendi agama-adat-ilmu perlu terus ditingkatkan pada level-level penyadaran masyarakat Aceh. Sebab, dalam satu dekade terakhir, ketiga hal ini yang menjadi ‘bumbu masakan’ Aceh Baru ternyata telah diabaikan secara berjama’ah oleh sebagian wakil rakyat. 
Damai Aceh juga perlu dijadikan agenda para caleg untuk memperlihatkan bahwa betapapun keperbagaian di Aceh, namun muara pemikirannya adalah damai.
Dalam pada itu, salah satu isu penting paska-pemilu tahun depan adalah mencuatnya kembali isu pemekaran Aceh, terutama bagi mereka yang tidak terpilih atau sudah terpilih. Isu ini terus terang akan diangkat kembali oleh politisi lokal, seiring dengan kebebasan politik pada tahun 2009. 
Pemerintah Aceh, dalam hal ini, bisa menanti bahwa pemekaran akan terus dianggap sebuah keniscayaan atas nama rakyat, jika mereka tidak tersalurkan sebagian kepentingan politiknya dalam pemilu mendatang. Konsekuensi logis dari pemilu mendatang adalah naiknya isu-isu lokal sebagai bahan kampanye di tingkat dua menuju tingkat satu dan nasional. Namun, hal ini tidak akan memberikan ancaman serius terhadap pembangunan Aceh, sebab isu pemekaran adalah bagian dari cambuk bagi pemerintahan saat ini supaya tidak menutup mata bahwa ada yang ‘tertinggal’ dalam sejarah pembangunan Aceh saat ini. 
Ketiga, isu yang tidak kalah pentingnya adalah meleburnya agama dalam kepentingan politik, khususnya bagi yang mengusung partai politik. Ini harus disikapi oleh rakyat sebagai ‘bukan menjual ayat-ayat al-Qur’an,’ namun tokoh politik masih melihat bahwa peluang agama sebagai komoditi politik masih sangat terbuka.
 Akan tetapi, sebagaimana pengalaman pemilu-pemilu di Indonesia, isu agama hanya akan berhenti di pintau gedung dewan terhormat. Sebab itu, rakyat harus disadarkan bahwa ketika agama dinaikkan, mereka juga tidak akan menikmati imbas dari isu ini.
Karena itu, hal yang keempat yang cukup merisaukan adalah masih bertahannya politik dayah di Aceh. Inilah yang memperlihatkan kebuntuan isu-isu lokal, ditengah naiknya isu agama dalam konteks politik dayah. 
Dalam kategori ini, mereka yang memiliki basis dayah akan menghadang kelompok yang memiliki basis non-dayah. Proses penggemukkan dayah menjadi kendaraan politik, memang hanya terjadi di Jawa Timur, namun dalam konteks Aceh saat ini, hal tersebut sangat merisaukan. Sebab, ketika dayah tidak lagi menjadi modal dan model pendidikan Aceh, maka proses yang terjadi berikutnya adalah keinginan masyarakat dayah untuk tampil dalam kancah politik. Dalam sejarah Aceh ini pernah terjadi dan selalu berujung pada ketidakmampuan kelompok dayah dalam mengelola isu yang mereka mainkan.
Untuk itu, tahun depan, polarisasi dayah dan aksi sweeping akan terus terjadi.
 Tentu saja ini atas nama agama, dayah akan memainkan peran penting. Dalam hal yang lebih sederhana, kekuasaan Aceh pada tahun 2009 nanti akan lebih banyak dikendalikan oleh dayah. Hal ini juga terlihat peran dayah dalam menyusun langkah ke depan, saat pemilihan kepala daerah nantinya. Gelombang kebangkitan politik dayah tahun depan, adalah lebih karena kegagalan kelompok ini mempengaruhi pemerintah Aceh saat awal tahun 2008 ini. Jadi, boleh jadi, situasi politik Aceh tidak akan jauh berbeda dengan situasi politik di Jawa Timur, dimana dominasi ditentukan oleh para Kyai. Dalam hal ini, saya ingin melandaskan bahwa preseden sejarah politik Aceh selalu berakhir ketika dayah tidak mampu mengendalikan diri mereka secara internal.
Adapun hal kelima yang cukup mengkhawatirkan adalah munculnya kelompok-kelompok yang merusak perdamaian Aceh, dengan menyusup dalam situasi kampanye dan paska-pemilu. Hal ini yang selalu menjadi kekhawatiran kita saat nanti, dimana kelompok provokator akan masuk ke berbagai lini guna menghancurkan situasi perdamaian Aceh. Rencana untuk melakukan ini sudah terlihat dari beberapa tahun terakhir, khususnya saat terjadi mobilisasi massa dan aksi yang mengarah pada adu domba sesama rakyat Aceh.
Dari kelima kerisauan di atas, tentu saja kita harus terus mengambil langkah penting, yaitu tidak mau larut dalam suasana pesta politik tahun depan. Sebab, dalam hemat saya, Aceh masih memainkan peran sebagai pusat jajanan isu bagi pihak yang akan melakukan kampanye. Karena itu, Aceh kemudian akan menjadi piring nasi supaya semua lauk pauk politik dari tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bercampur baur.
Yang tertinggal adalah bagaimana rakyat mau memakannya ‘gado-gado politik’ ini. Proses blenderisasi isu di Aceh pada tahun 2009 adalah proses untuk memajukan kepentingan segolongan pihak dan menghancurkan kepentingan golongan pada pihak yang lain. Rakyat Aceh, dalam hal ini, akan menjadi saksi sejarah sebuah pesta ‘gado-gado politik’ pada tahun 2009. 
Saya berharap, ini tidak akan menyebabkan rakyat Aceh berjalan di tempat, sebab hasil dari pesta ini hanya akan menjadi tontonan kita pada tahun-tahun berikutnya di gedung parlimen.
Akhirnya, renungan ini tidak ingin mengajak kita pada kehampaan dalam keterputus-asaan. Bagaimanapun, kita akan melewati tahun 2009 nanti. Hanya saja kita harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang boleh saja tidak terjadi, atau malah terjadi secara bertubi-tubi. Untuk itu, rakyat sejak bulan Januari tahun 2009 sudah bisa mempersiapkan diri dengan skenario ‘gado-gado politik’ di Aceh.
See also  In Memoriam: Selamat Jalan Kang Eman Hermawan!

Also Read

Bagikan:

Tags

Leave a Comment