Memahami Dampak Industri Asusila di Aceh

Dalam artikel ini, setelah mengupas beberapa fenomena “gelap” tentang dunia kemahasiswaan di Aceh, Saya akan mengupas beberapa fenomena yang sedang dan akan terjadi pra dan paska gejala sosial tersebut. Tentu ini adalah hasil pemantuan Saya sebagai peneliti sosial-antropologi. Apa yang disampaikan di dalam studi ini adalah hasil pengkajian dan pendalaman selama bertahun-tahun di provinsi ini.

Adapun gejala yang sedang terjadi adalah: manajemen yang cukup sistematik terhadap pengembangan dunia asusila di Aceh. Di perkampungan muncul fenomena kepungan shabu-shabu dari luar Aceh, hingga menciptakan generasi Aceh yang sama sekali jauh dari kata ‘generasi emas.’ Kemunculan “janda sabe” sebagai kelanjutan “janda konflik” ada gejala yang sedang terjadi di Aceh saat ini. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan mengakibatkan kemunculan patologi sosial dalam masyarakat Aceh, khususnya setelah kepungan shabu-shabu.

Setelah itu, di kawasan urban, manajemen maksiat yang terorganisir saat ini pun agak sulit dibendung. Sex on the car adalah kelumrahan baru yang tidak menjadi perhatian dari masyarakat. Keputusan untuk menjadi penyuka sesama jenis di kalangan generasi muda adalah tren yang ingin dilewati, karena hasrat kasih sayang tidak lagi dapat tersalurkan pada lawan jenis. Kenaikan harga emas yang mengakibatkan kesulitan bagi para pemuda Aceh juga mengakibatkan begitu “mahal” untuk meminang seorang gadis di provinsi ini, jika tidak memiliki modal yang mapan.

See also  ANTAR: Microfinance Institution in Bangladesh for the Poor

Penggunaan aplikasi online, untuk judi online dan pinjaman online adalah kejadian yang tidak dapat diselesaikan dengan nasihat-nasihat religi. Karena “mabuk maisir online” ini sudah terjangkiti tidak hanya pada generasi muda, tetapi juga pada generasi tua di provinsi ini. Penggunaan aplikasi “kemesraan online” di kalangan generasi muda untuk mencari penghasilan tambahan juga tidak dapat dikesampingkan sama sekali saat ini. Jika dibuka aplikasi online dan group-group sosial media di Aceh, “bisnis ST dan LT” adalah hal yang sudah biasa, di kalangan masyarakat saat ini.

Bisnis rental mobil yang pada awalnya adalah untuk keperluan bisnis yang produktif, berubah menjadi “bisnis ST dan LT,” karena kondisi ini jauh dari perhatian masyarakat. Fenomena “mobil bergoyang” di beberapa ruas jalan di Aceh adalah bisnis yang menggiurkan bagi para pemilik mobil dan para supir. Karena itu, tidak menutup kemungkinan “mobil bergoyang” ini akan memberikan dampak baru dalam industri asusila di Aceh saat ini.

Industri asusila ini memang sangat menggiurkan. Sebagai contoh, Café menjadi ajang untuk mencari target sebagai bagian dari permulaan industri. Di sini pemilik Café akan mengalami keuntungan yang cukup luar biasa, karena pelanggan mereka akan tetap ramai hingga menjelang pagi hari.

Para pelaku bisnis asusila cukup bertransaksi melalui media dan aplikasi online. Misalnya, saat ini aplikasi Mi-xxxx dan jalur komunikasi via Telexxxx sekaligus ditopang oleh aplikasi Dxxx menjadikan perputaran bisnis mencapai puluhan jika bukan ratusan juta per-hari. Dikarenakan penginapan yang sering dirazia oleh aparat hukum, maka kendaraan MPV (Multi Purpose Vehicle) menjadi salah satu pilihan alternatif. Jika pelaku bisnis ini membidik kelas menengah, maka paspor yang akan menjadi pilihan yang terbaik.

See also  HIMAPERMA DAN KMK KERJA SAMA MEMBUAT KEGIATAN PELATIHAN MENULIS UNTUK MAHASISWA

Seorang pelaku bisnis akan mengeluarkan modal mereka untuk menaikkan citra mereka di industri ini, supaya para pelanggan mereka akan melirik. Out fit yang yang sangat branded. HP iPhone menjadi menjadi penarik sebagai bacaan status sosial. Digital marketing di media sosial memberikan ruang fantasi bagi pelaku dan penikmat pasar. Karena itu, industri asusila di Aceh menjadi suatu tren yang baru, kendati masih mengklaim bahwa daerah ini sangat tunduk dan patuh pada ajaran Islam.

Industri asusila ini memang sangat menggiurkan, kendati mata rantai supply dan demand tidak begitu terbaca dalam statistik perekonomian di Aceh. Hal ini berbeda misalnya kalau kita ke Bangkok dan beberapa kota lainnya di Thailand, dimana semua jejaring bisnis dan pola industri menjadi pemasukan ke pemerintah ini. Di Aceh statistik industri asusila ini belum menjadi perhatian khusus oleh para pengambil kebijakan. Di Jepang, industri ini dapat membantu perekonomian negaranya.

Dalam sirkulasi industri asusila inilah generasi muda kita hidup saat ini. Mata yang perih karena sibuk ke Android. Menghisap Vape sebagai bagian dari jati diri. Konsumsi makanan jajanan merusak kesehatan  di pinggir jalan. Tidur malam di jam 2 dan 3 pagi. Perilaku menuju kencatikan dengan pemutih melalui pola “skincarewati.” Nongkrong di Café sebagai bagian dari aktualisasi diri. Semua hal ini menyebabkan terjadi distorsi arah kehidupan yang mandiri.

See also  Visi Keindonesiaan Yayasan Waqaf al-Hidayah di Thailand Selatan

Industri asusila ini tidak mengenal ajaran agama manapun. Bahkan ada yang berdoa sebelum mereka melakukan aksi mencari rezeki melalui model ini. Tuhan seolah-olah hadir mempermaafkan apa yang dilakukan oleh seorang hamba tersebut. Karena itu, menghadapi kecanggihan industri asusila ini memang tidak bisa sendiri-sendiri. Karena dorongan pelaku bisnis dalam industri sangat imun dari semua aturan yang dihasilkan. Norma tidak akan menjadi obat bagi penyakit sosial (social pathology).

 

 

 

 

Also Read

Bagikan:

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Tags

1 thought on “Memahami Dampak Industri Asusila di Aceh”

Leave a Comment