Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
AcehnologyEthnographyLecture MaterialsTradition Series

Agama Sebagai ‘Buluh Perindu’, Budaya Sebagai ‘Azimat Sosial, dan Nilai Sebagai ‘Kosmetika Sosial’ dalam Masyarakat Aceh

Pendahuluan

          Dalam esai ini, saya tertarik untuk mengupas tebtang agama sebagai ‘buluh perindu’, budaya sebagai ‘azimat sosial,’ dan nilai sebagai ‘kosmetika sosial’ dalam masyarakat Aceh. Dalam hal ini, ada sebuah candaan dari karib di salah satu grup WA. Jika di Yogyakarta, jangan pernah mengusik tentang posisi dan sosok Sultan Hamengkubowo X, maka di Aceh jangan pernah mengusik apalagi menggugat pemberlakuan Syariat Islam. Kedua hal tersebut sangat sensitif, jika diungkit ke ranah publik. Apapun silahkan dikomentari dan dianalisis di Aceh dan Yogyakarta, kecuali  dua hal yang tidak dianjurkan untuk diusik. Dalam konteks Aceh, Syariat Islam menjadi bagian penting dari rekayasa sosial.

            Akan tetapi, ketika kita memasuki Aceh sampai ke Sabang, maka persoalan patologi sosial adalah hal yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Patologi sosial dapat dipahami sebagai sakit sosial dalam suatu komunitas. Dengan kata lain, kondisi ini dipahami sebagai masyarakat yang sakit. Sakit sosial ini memang tidak akan dirasakan oleh si penderita. Mereka malah cenderung menikmati penderitaan sosial ini secara berjamaah.

            Sakit sosial ini amat sulit dipulihkan, khususnya ketika merambah pada penyakit yang sudah akut. Misalnya, kejahatan terorganisir, dekadensi moral, etika dan moral tidak dikedepankan sama sekali, empati sosial terkikis, rasa bahagia begitu mahal untuk dinikmati. Hal-hal ini yang terkadan membuat suatu masyarakat tidak dapat membangun, tidak hanya daerahnya, tetapi diri mereka sendiri susah untuk bangkit.

            Jika kita berkeliling Aceh, maka hampir dalam radius 1 sampai 5 kilo, terdapat rumah ibadah (masjid, meunasah, dan musalla). Bahkan SPBU telah menyediakan musalla untuk para musafir. Beberapa supermarket, perkantoran, fasilitas publik, disediaka ruang untuk beribadah. Demikian pula, hampir disetiap kecamatan, lembaga Pendidikan Islam terus menjamur di provinsi Aceh. Ruang ibadah ini menjadi simbol bahwa masyarakat Aceh sangat relijius.

            Demikian pula, ketika kita berkeliling Aceh, suasana pesta perkawinan untuk mengatakan bahwa adat di Aceh saat sakral, juga tidak dapat diketepikan. Pesta pernikahan pun terjadi, mulai dari gedung mewah hingga di pinggir jalan. Masyarakat Aceh benar-benar mempertahankan adat istiadat mereka dalam hal hubungan antar individu.

            Tidak hanya hal di atas, setiap peringatan kelahiran Rasulullah  SAW (maulid), masyarakat berlomba-lomba menampilkan kesalehan sosial mereka dengan berkenduri atas nama kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tidak terkira berapa puluh ribu binatang yang disembelih untuk mengadakan kenduri ini. Namun, uniknya ritual tahunan ini sama sekali tidak mengambil spirit kenabian yang diwariskan oleh Rasul untuk memperbaiki akhlak/moral manusia di Aceh.

            Beberapa kantor pemerintah menyediakan rumah ibadah. Shalat berjamaah dipelihara. Penceramah diundang untuk memberikan siraman ruhani (tausiyah). Simbol-simbol kesalehan individu pun selalu tampak dari wajah dan pakaian para staf, hingga kepala kantor. Saat berceramah, semua amunisi kebaikan disebarkan, namun ketika dalam praktik perkantoran, seolah-olah pesan kebaikan di rumah ibadah, tinggal persis ketika mereka meninggal pintu masjid atau musalla.

            Tidak hanya itu, sekolah atau pondok pesantren/dayah yang menghasilkan penggerakan keilmuwan agama pun tidak sedikit. Mereka dianggap sebagai agen pembawa perubahan sosial dalam masyarakat. Akan tetapi, perilaku individu dan sosial mereka pun sama sekali jauh dari tataran nilai keagamaan yang dipelajari dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Bahkan kejahatan sosial malah diproduksi oleh mereka yang mempelajari ilmu agama.

            Hal yang unik lainnya juga terlihat dari perilaku pengedar shabu-shabu, yang menjadikan agama sebagai pelarian atas kemunafikan sosial mereka. Menyumbang untuk pembangunan rumah ibadah. Shalat berjamaah di meunasah dan masjid. Pakaian islami yang selalu terlihat di atas tubuh mereka. Namun, dalam kesehariannya, mereka menyebarkan bubuk ‘buluh perindu’ untuk membuat generasi Aceh semakin terpuruk dan suram masa depan mereka.

            Tampaknya tidak ada ruang privat dan publik Aceh yang tidak terkena  gejala sakit sosial. Biasanya para ahli atau agamawan akan mencari kesalahan dari proses rekayasa sosial. Namun, saya ingin mengajukan pertanyaan apakah produksi manusia dan kemanusiaan di Aceh sudah benar adanya? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam bab ini.

Also Read  Robohnya Panggung Sandiwara di Aceh

 

Agama Sebagai ‘Buluh Perindu’

 

            Adapun jawaban pertama dari pertanyaan di atas adalah agama hadir sebagai ‘buluh perindu’ (Holttumochloa). Dalam masyarakat Melayu, buluh perindu adalah alat untuk memikat hati seseorang. Dia  diyakini akan menambah kewibaan dan kharisma seseorang. Buluh perindu digunakan oleh seseorang yang memiliki target untuk dipengaruhinya. Karena itu, buluh perindu sangat banyak diincar oleh masyarakat tertentu, khususnya untuk menaklukkan lawan jenin.

            Mereka mengelola kebaikan untuk mencapai tujuan akhirnya. Agama memang mengajarkan kebaikan pada sesama. Akan tetapi bagaimana jika agama kemudian berubah menjadi buluh perindu. Aktor akan mencari sebanyak mungkin legitimasi sosial  (social legitimation) dan kharismanya dari agama, demi untuk mempermudah langgam kehidupannya di ruang publik. Hal ini dikarenakan bahwa agamalah yang paling mudah untuk memanipulasi masyarakat.

            Tentu tesis ini akan mengundang sejumlah gugatan dari para pembaca. Sebab agama tidak diproduksi untuk tujuan sebagai buluh perindu. Namun, jika aktor agamawan berperilaku menjadikan agama sebagai buluh perindu, makan tesis ini perlu dijelaskan sebagai argument utama dalam rangka memahami sakit sosial di Aceh.

            Tentu hal di atas memerlukan narasi yang mudah dipahami, kendati secara tersirat tidak sulit untuk dimengerti. Legitimasi sosial merupakan hal yang paling dicari oleh setiap individu untuk menaikkan status sosial di ruang publik. Status ini dapat diperoleh melalui jumlah materi yang dikuasai oleh seseorang. Semakin tinggi materi yang dikuasai, semakin tinggi pula status sosial yang didapatkan oleh individu tersebut.

            Iblis menolak kehadiran Nabi Adam, karena status sosialnya di Kerajaan Langit yang terusik. Iblis awalnya adalah makhluk Allah yang paling taat kepada Rabb. Ibadah Iblis tidak pernah diragukan oleh Makhluk Langit. Ribuan tahun mereka beribadah untuk mengakui Allah sebagai Penciptanya. Namun, ketika ada sosok makhluk yang diciptakan dari tanah, dia berontak dan tidak mau bersujud.

            Iblis tidak ikhlas, manusia menjadi makhluk sebagai Khalifah Allah. Narasi ini dapat dibaca dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Keikhlasan adalah kunci yang menyebabkan Iblis enggan dan takabbur kepada Allah. Seolah-olah ibadahnya dapat dijadikan alasan kuat untuk mengatakan mereka adalah Kekasih Allah. Iblis tidak mampu menjadikan ibadahnya sebagai ‘buluh perindu’ untuk menaklukkan Allah.

            Ketika agama sebagai ‘buluh perindu’, maka fungsinya hanya sebatas ritual semata, tanpa memberikan pengaruh kepada individu dan ummat di sekitarnya. Agama hanya hadir untuk menutupi kepentingan individu dengan kesalehan mereka. Keikhlasan dalam kehidupan menjadi sangat jauh untuk dipraktikkan.

            Karena itu, strategi menukar ibadah dengan aktivitas yang kontra dengan ibadah adalah akibat dari fungsi agama sebagai ‘buluh perindu.’ Ritual dan simbol keagamaan hanya untuk kepentingan pemikat saja. Tidak lebih dari itu! Akibatnya, siapapun yang datang ke Aceh, maka pemikat hati adalah fakta ummat beragama di Aceh hampir 100 persen. Mereka menerapkan hukum Islam.

            Masjid dimana-mana. Dayah pun menjamur. Sekolah keislaman tidak sedikit. Penghapal Alquran pun tidak pernah padam semangat. Mengapa proses awal dari rekayasa sosial di Aceh seperti ini tidak membawa perubahan yang positif di Aceh. Tentu tidak bijak untuk memperkatakan ibadah tidak punya dampak dalam kehidupan rakyat di Aceh.

            Hampir setiap bulan, ada saja masyarakat Aceh yang pergi umrah. Kalau ada penggalangan dana untuk bantuan sosial, rakyat Aceh terdepan. Jika ada pengunsi dari luar negeri terdampar di Pantai Aceh, warga akan berduyung-duyung untuk membantu mereka. Semua orang akan terpikat hatinya dengan keberadaan agama di Aceh.

            Beberapa turis dari Malaysia memuji negeri Aceh. Mereka kagum dan merasakan ‘kehadiran’ Allah di bumi Aceh. Masjid Raya Bayturrahman selalu menjadi incaran para turis untuk shalat di dalamnya. Jika semua kebaikan atas nama keagamaan di Aceh tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah sosial di Aceh. Tentu bukan agama yang harus disalahkan.

            Hal ini disebab, sebagai ‘buluh perindu’ agama hanya memikat hati, bukan pada perilaku. Seorang bandar shabu, sangat boleh jadi, selalu dekat dengan kehidupan keagamaan. Seorang koruptor, tentu tidak perlu mengatakan kalau mereka jauh dari agama. Mereka yang menghancurkan alam Aceh, sudah dapat dipastikan KTP mereka beragama Islam. Tetapi, Islam tidak berfungsi di dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya dalam ruang publik.

Also Read  Nahdlatul Ulama (NU) in the Era of Soeharto and Jokowi: Do We Miss Gus Dur?

            Karena itu, jawaban mengapa patologi sosial muncul di Aceh dapat dikatakan bagwa agama hanya ‘pemikat’ bukan tercermin dalam perilaku kehidupan sosial. Agama tidak berfungsi di dalam kantor-kantor pemerintah. Karena itu, perilaku Iblis-lah yang menjadi acuan utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Iblis itu taat, tetapi tidak patuh. Begitulah gambaran mengapa semakin baik ibadat seseorang, semakin sulit bagi mereka untuk menjalankan ibadah mereka dalam kehidupan sosial mereka, tidak hanya di ruang privat maupun di ruang publik. Dengan kata lain, ruang sosial untuk berbuat baik semakin sempit, sementara berbuat jahat semakin lebar. Kendati individu tersebut sangat taat beribadah kepada Allah.

 

Budaya sebagai ‘Azimat Sosial’       

          Adapun tesis kedua adalah budaya yang selalu diagung-agungkan ternyata hanya berfungsi sebagai ‘azimat sosial.’ Hal ini serupa seperti fungsi agama di atas, yaitu sebagai ‘buluh perindu.’ Azimat dipakai untuk bertujuan supaya terlindungi atau kebal dari berbagai serangan. Seseorang memakai azimat untuk menambahkan kepercayaan diri mereka. Melalui azimat, mereka ingin mengirimkan pesan bahwa dia memiliki ‘tameng.’

            Orang yang memakai azimat adalah bukan orang yang percaya diri. Mereka tidak menemukan atau bahka menyembunyikan kekuatan diri mereka dalam segala hal kehidupan dalam masyarakat. Mereka lebih baik curiga, daripada berkawan dari segala lini. Ketulusan diukur dari capaian azas manfaat yang dibenamkan dalam akal pikiran. Karenanya, azimat terkadang bukan lantas melindungi seseorang, tetapi mengurung diri seseorang untuk menjadi manusia normal.

            Budaya di Aceh selama ini memang lebih terkesan sebagai azimat sosial (social amulet). Para sarjana memang lebih banyak menekuni tentang azimat dalam masyarakat. Namun, sangat jarang yang membahas tentang azimat sosial, khususnya dalam bidang kebudayaan. Hampir semua masyarakat tradisional, tidak terkecuali modern, juga memeliharan azimat.

            Mereka menganggap azimat dapat melindung diri, keluarga, dan komunitas dari keburukan. Karena itu, tumbal selalu menjadi alat untuk memperbaiki azimat yang dipeliharanya. Semakin besar dampak azimat yang diinginkan, semakin besar pula pengorbanan yang harus dilakukan. Semakin kuat suatu azimat, semakin mahal juga harga yang harus dibayar.

            Akan tetapi, bagaimana memahami ketika budaya itu sesungguhnya adalah azimat sosial, tidak terkecuali di Aceh. Orang Aceh telah menjadikan budaya sebagai azimat. Budaya bukan merubah perilaku menuju manusia seutuhnya. Sebab, budaya merupakan suatu hasil pemikiran suatu komunitas dalam bidang simbol, makna, dan sistem berpikir. Ketika tiga bidang ini tidak berfungsi untuk mengubah jati diri kemanusian, maka sangat boleh jadi, budaya telah diubah menjadi azimat sosial.

            Pergelaran kebudayaan di Aceh selalu dilakukan untuk menghormati tradisi lokal. Namun, substansi dari pesan tradisi tesebut sama sekali tidak tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Rasa malu adalah hal yang jauh dari perilaku masyarakat. Orang malu tidak melakukan ritual kebudayaan, namun sebaliknya di dalam menjalankan pesan dari ritual yang mereka bentangkan di ruang publik.

            Pendidikan rasa malu sudah tidak begitu membudaya, sebab orang yang memakai azimat, adalah mereka yang sama sekali tidak mengenal rasa malu (rasa male). Demikian pula, untuk menjaga harga diri pun, orang yang memakai azimat tidak memerdulikan sama sekali. Harga diri mereka sudah digadaikan pada kekuatan azimat yang diharapkan untuk melindungi mereka.

            Akibatnya, semakin tinggi keinginan untuk menjaga budaya, semakin tinggi pula upaya untuk menginjak budaya tersebut. Hal ini tercermin dari kontrol kebudayaan terhadap perilaku sosial tidak lagi berfungsi. Orang malu ketika mereka tidak melakukan pesta adat, tetapi sama sekali tidak bermasalah dengan perilaku yang melanggar budaya. Harga sosial (social cost) terhadap dampak dari proses menginjak kebudayaan, sama sekali tidak penting untuk dibicarakan.

            Fungsi lain dari budaya sebagai azimat sosial adalah merebaknya semangat formalisme dan simbolisme budaya, dalam bentuk kanusisasi perilaku manusia, yang sejatinya, dapat diselaraskan melalui Pendidikan Adat Istiadat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tujuannya adalah setiap energi kebudayaan dapat merubah cara pandang, pemaknaan, dan sistem berpikir komunitas tersebut.

Also Read  How is the History of Reconstruction of Acehnese Identity and their Contact with Arabs

            Karena dia berfungsi sebagai azimat, maka produk pemahaman kebudayaan adalah untuk mencari lawan. Budaya dianggap sebagai tameng sosial. Budaya bukan untuk mengubah perilaku yang lebih baik, melainkan merusak dasar perilaku potensi kemanusiaan dalam manusia itu sendiri.

            Karena itu, tidak mengherankan dalam ruang publik, fungsi kebudayaan yang hakiki sama sekali absen. Pendidikan kebudayaan menjadi semacam utopia belaka. Lembaga adat hanya pelaksana program, bukan memogramkan proses kemanusiaan di Aceh. Budaya tidak lagi menjadi instrumen penting dalam rekayasa sosial. Persis fungsinya seperti agama sebagai buluh perindu.

 

Nilai dan Moral Sebagai ‘Kosmetika Sosial’         

 

Tesis terakhir dari jawaban patologi sosial di Aceh adalah adanya kosmetika sosial dalam dataran nilai dan moral. Menurut sejarah, kosmetik adalah tradisi wanita berias ketika mereka datang bulang. Mereka mengecat muka dan alis mata mereka, sebagai simbol bangsawan, agar dapat berinteraksi dalam istana. Sedangkan mereka yang bukan berasal dari kalangan bangsawan akan dikurung dan mata mereka dianggap sebaga mata Iblis (devil eye).Nasaruddin Umar telah mengkaji tentang menstrual taboo dalam sejarah kosmetik. 

Dalam hal ini, tidak mengejutkan bahwa kosmetik adalah untuk menutup dan menghias bagian tubuh tertentu dari seorang perempuan. Konsep cantik adalah putih merupakan konstruksi kebudayaan masa kini. Rambut lurus lebih baik daripada rambut keriting. Badan bertato lebih indah daripada tidak bertato sama sekali. Konstruksi pemakaan kosmetik di era kekinian memang terus berkreasi, untuk memberikan pemaknaan dari apapun yang diberikan di atas muka dan alias mata wanita.

Dalam kontek ini, seseorang yang memakain kosmetik, tentu menginginkan ada anggapan bahwa dia adalah cantik dan menarik. Hal ini sama dengan konsep azimat di atas. Kalau azimat biasanya tersembunyi, maka kosmetik itu sifatnya terbuka. Karena ingin berpenamilan menarik, maka bagian tubuh yang dapat dilihat akan diperindah.

Tentu saja, agak sulit menilai karakter seseorang dari tampilan kecantikan semata. Semua orang dapat mengenai sifat keasliannya ketika mereka berkenalan lebih jauh. Karena itu, kosmetik adalah penghiasa fisik wanita yang kemudian membuat lawan jenis tertarik.

Disini, menarik untuk mencermati ketika muncul kosmetika sosial. Suatu masyarakat menampakkan perilaku mereka yang sebenarnya sangat artifisial. Masyarakat Aceh dewasa ini benar-benar melakukan proses kosmetika sosial. Hidup dengan kepura-puraan adalah hal baru dalam tradisi masyarakat Aceh. Mereka ingin menampakkan, apa yang sejatinya tidak pantas dan patut ditonjolkan ke wilayah publik.

Karena keinginan tersebut, maka semua sendiri agama dan budaya ditabrak secara berjamaah. Kondisi ini menjadi proses pembiasaan baru dalam masyarakat Aceh. Akibatnya, sesuatu yang tidak normal menjadi sesuatu yang normal dan patut diterima dalam masyarakat. Ketidaknormalan ini menjadi suatu yang normal dan diterima sebagai tatanan nilai dan moral baru dalam masyarakat Aceh dewasa ini.

Inilah salah satu alasan mengapa patologi sosial di Aceh begitu kuat energinya dalam masyarakat. Mereka menyediakan ruang baru untuk sesuatu yang tidak pantas dan patut untuk dipraktikkan. Siapapun yang ingin menegasikannya akan dianggap sebagai lawan sosial (social enemy). Sehingga kondisi ini memperparah situasi masyarakat Aceh dalam konteks kekinian.

Kesimpulan

Akhirnya, studi ini adalah catatan awal dari pembuka diskusi dalam karya ini. Apa yang dihasilkan oleh para penulis dalam buku ini dapat menjadikan masukan bagi siapapun di Aceh. Kajian ini hanya ingin mengatakan bahwa ketika agama, budaya, da nilai tidak sejalan dengan mestinya, maka perilaku kontraproduktif akan menjadi pemandangan yang biasa-biasa saja dalam masyarakat Aceh.

            Bulu perindu, azimat sosial, dan kosmetika sosial adalah hal baru dalam masyarakat Aceh. Karena itu, siapapun yang punya keinginan untuk menjadikan Aceh lebih baik, dengan sendirinya harus memahami pola-pola perubahan masyarakat secara substantif dan menyeluruh. Karena setiap penyakit pasti ada ubatnya. Demikian pula, setiap azimat pasti ada penangkalnya.

 

13 Desember 2022, Darussalam

 

KBA

 

                       

           

 

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button