Begini Tradisi Masyarakat Aceh dalam Mencari Rezeki

Dalam esai ini, saya tertarik untuk mengupas tentang bagaimana tradisi Masyarakat Aceh dalam mencari rezeki. Di sini akan dijelaskan tentang beberapa konsep inti yang dapat menjelaskan tentang tradisi masyarakat Aceh di dalam mencari rezeki.
Keunira Thon
Saya diminta untuk membicarakan tentang bagaimana mencari penghasilan di dalam budaya masyarakat Aceh. Tentu saja, topik ini membawa memori saya pada tradisi orang Aceh yang dikenal dengan kira thon atau keunira thon (menghitung penghasilan selama setahun). Ketika saya masih kanak-kanak, setiap tahun orang tua saya akan menghitung seluruh barang dagangannya. Di sini, dia akan menghitung barang-barang yang dijual setiap hari pekan dan yang masih terdapat di rumah, sebagai barang cadangan. Saat itu, saya tidak paham mengapa Bapak Saya selalu melakukan hal ini setiap tahunnya. Selama berhari-hari, tanpa menggunakan kalkulator, kami menulis jumlah barang dan Bapak Saya akan meletakkan harga barang, yang dia ambil dari Kota Medan.
Setelah bermalam-malam, kami menghitung, tanpa ada yang tertinggal sedikit pun, maka dia akan mengatakan apakah usaha dia, laba atau rugi pada tahun tersebut. Bapak saya tidak pernah mengatakan apapun, terhadap usaha yang dia lakukan, sebagai penjual keliling kain pada hari peukan di Aceh Utara. Terkadang saya diajak untuk berjualan keliling, kalau hari libur tiba. Kami berangkat di pagi hari, selepas shalat Shubuh. Saat itu, saya melihat para penjual kaki lima membuka lapak mereka. Belum ada internet saat itu, apalagi online shop. Semua dilakukan serba manual. Semakin mendekati hari raya, maka semakin banyak pula penghasilan yang mereka dapatkan.
Setelah menghitung hasil keunira thon, maka diadakan kenduri tahunan untuk memberi makan anak yatim di kampung. Semua sanak saudara juga diundang untuk hadir pada kenduri tersebut, dimana ini untuk menjaga silaturrahmi. Pada malam hari, akan diadakan pengajian oleh orang kampung, di mana beberapa bapak akan membaca al-Qur’an. Dari keunira thon juga dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan. Biasanya, dikeluarkan pada bulan Ramadhan. Para mustahik zakat dari kampung, khususnya dari fakir dan miskin, akan diberikan amplop yang merupakan hasil dari zakat yang dikeluarkan pada tahun tersebut.
Bapak Saya mengambil barang dagangannya ke Medan, tepatnya di jalan Pasar Ikan Lama, Malam Jum’at dia berangkat dengan bus. Menjelang jam 11 malam dia akan menunggui bus di pinggir jalan. Biasanya dia sudah memiliki bus langganan, dimana beberapa toke yang sering mengambil barang dagangannya ke Medan, turut berangkat pada malam Jum’at. Malam ini diambil, karena pada hari Jum’at, sangat tidak dianjurkan untuk berjualan. Karena itu, pada hari tersebut, biasanya jika Bapak Saya tidak ke Medan, dia akan libur berdagang, sambil menunggu Shalat Jum’at di Masjid kampung. Dia selalu berangkat jam 12 siang, supaya berada di saf paling depan.
Tradisi Meukat
Kalau pun dia berjualan, maka Bapak Saya tetap melakukan shalat sambil berdagang. Rute perdagangannya adalah Gampong Teungoh, Krueng Aji, Sawang, Blang Ranto, Seumirah, Beureughang, dan Geurugok. Hampir semua daerah tersebut saya pernah diajak oleh Bapak Saya. Setiap mulai berdagang dia mengucapkan bismillah, terlebih jika ada pembeli pertama pada hari itu. Dia paham betul corak dan karakter pembeli. Dia juga tidak segan-segan menghutangi pembeli, yang dipandangnya memang tidak memiliki cukup uang pada hari itu. Setiap pagi, dia akan menyapa para pedagang lainnya.
Tradisi berdagang ini dikenal sebagai meukat. Saya tidak pasti, darimana asal kata ini muncul. Uniknya, kata dagang malah berarti mencari ilmu di dalam tradisi Aceh yang dikenal sebagai jak meudagang. Di sini, tradisi meukat memang sudah melekat dalam budaya masyarakat. Berbagai profesi dijalani, dari muge eungkot sampai penjual ubat keliling. Karena itu, setiap hari pekan, arena pasar menjadi begitu ramai. Tradisi ini juga saya jumpai di beberapa daerah di Nusantara. Para penjual membawa barang, sementara pembeli menjual hasil perkebunan atau peternakan mereka untuk membeli keperluan selama satu minggu.
Dalam transaksi jual beli ini harus diucapkan dengan akad jual beli yang sesuai dengan hukum Islam: peng keu droeneuh, barang keu ulon. Arena pasar ini memang selalu berdekatan dengan masjid dan pesantren. Karena itu, saya menyebutkan bahwa tradisi meukat di Aceh tidak boleh lari dari aspek-aspek religiusitas masyarakat setempat. Tentu saja, kondisi ini jauh sebelum muncul mall atau toko-tokoh one stop shopping (mis. Indomaret atau Alfamart). Konsep utama di dalam berbisnis adalah hareukat dan beureukat. Dua konsep inilah yang kemudian mengikat semua transaksi bisnis di dalam masyarakat Aceh tempoe doeloe. Kendati mereka buta huruf, tetapi jiwa bisnis dengan konsep meukat, hareukat, dan beureukat, tidak sedikit para pengusaha Aceh, sukses tidak hanya di Aceh, tetapi juga diluar Aceh (Medan, Jakarta, dan Kuala Lumpur).
Pola bisnis pedagang Aceh memang dimulai dari zero (nol). Saya mendapatkan cerita bagaimana tahun 1980-an awal, para pedagang Aceh yang melakukan ekspansi ke Kota Medan, kemudian menjadi pedagang sukses di kota tersebut. Mereka memiliki berbagai asset di kota tersebut dan juga di kampung halaman. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia. Sehingga pebisnis Aceh kerap dipanggil ‘Cina Hitam.’ Ketika berada di Malaysia pada tahun 2001, saya juga terlihat dengan kira tahunan pada seorang pedagang yang berasal dari Idi (Aceh Timur). Gaya berpakaiannya sama sekali tidak menunjukkan seorang pedagang yang sukses. Dia tetap membayar zakat dan menyantuni anak yatim untuk mencari keberkahan (beureukat) di dalam dunia bisnisnya (hareukat).
Tradisi Beternak Sapi
Di samping berjualan di kaki lima, Bapak Saya juga membeli sepasang lembu yang dititipkan pada orang kampung di Kecamatan Sawang. Orang yang dititipkan sepasang sapi ini tentu dari ekonomi menengah ke bawah. Adapun model hitungangnya adalah jika sepasang sapi ini beranak, maka dihitung dari paha lembu tersebut, dimana orang kampung ini akan mendapatkan haknya, sedikit demi sedikit, dari kerja kerasnya, di dalam menghasilkan ternak. Karena itu, ketika jumlah sapi sudah sedemikian banyak, maka sang pengembala sapi pun memiliki beberapa ekor sapi, sesuai dengan hitungan dan perjanjian sejak awal.
Tradisi memberikan sapi kepada orang di kampung, bukan hanya monopoli Bapak Saya, melainkan juga beberapa orang berada lainnya, yang ingin membantu masyarakat kecil. Di sini, kalau pun ada sapi yang mati, maka resikonya ditanggung secara bersama-sama. Asalkan komunikasi dibangun dengan sangat baik, maka semua masalah diselesaikan secara kekeluargaan. Di sini faktor persaudaraan, lebih kental daripada bisnis semata. Sehingga, mereka yang mengembala sapi Bapak Saya, kami panggil Cek atau Apa (Paman). Saya kerap diajak oleh Bapak, untuk melihat sapi di kampung dan melakukan silaturrahmi dengan orang kampung tersebut. Demikian pula, setiap ada kenduri di rumah, orang yang menjaga sapi kami selalu diundang dan kami selalu menanti kehadiran mereka di rumah. Tahun 2022, ketika Abang Saya meninggal dunia, mereka yang pernah menjaga sapi Bapak Saya, hadir dan kami tetap memanggil dia sebagai Cek atau Apa.
Agen Dalam Dunia Bisnis
Hanya saja, masalah yang paling krusial di dalam bisnis peternakan dan perkebunan adalah kemunculan agen. Mereka yang mencari laba di atas usaha orang lain. Sehingga kehadiran mereka sering tidak bisa dihindari, kendati mereka tetap menanti di tempat jual beli ternak. Para agen akan menentukan harga dan menjualnya kepada pembeli. Sang pemilik ternak akhirnya harus meminta uang kepada agen, dimana terkadang tidak diberikan dalam satu waktu. Hal ini terlihat pada hari pekan yang terdapat di salah satu kecamatan di Aceh Besar. Para agen ternak, khususnya sapi dan kerbau, kerap dicari-cari oleh pemilik ternak, untuk mengambil uang hasil jualan mereka.
Kehadiran agen di pasar-pasar tradisional pada hari pekan, sedikit banyak, tidak disukai oleh para pengunjung pasar, selain mereka tidak bisa menentukan harga, para agen juga kerap mencari laba. Sehingga para warga lebih tertarik menjual ternak atau hasil kebun mereka secara langsung kepada pembeli. Para prinsipnya, agen di Aceh memang menjadi makelar di dalam berbagai sektor usaha, mulai dari agen moto, agen honda, agen tanoh, agen leumo, agen tiket, hingga agen proyek. Semua usaha ini dilakukan dengan mencari konsumen, lantas para agen mendapatkan sedikit fee di atas usaha yang dilakukannya. Seiring kemunculan bisnis online, para agen inipun sudah mulai berkurang di dalam masyarakat Aceh. Namun, berbagai bisnis online juga sekarang bertindak mencari fee dengan istilah admin fee.
Tradisi Bersawah
Untuk masalah persawahan, biasanya Bapak Saya menyerahkan pada sanak famili untuk menggarapnya atau orang kampung yang dipercayainya. Mereka hanya mengantarkan sewa tanoh, setiap selesai panen. Semua dilakukan dengan azas kepercayaan antara satu sama lain. Padi yang dibawa ke rumah, akan disimpan di dalam krong pade. Namun sekarang, padi terkadang langsung di bawa ke pembeli padi yang dikenal dengan istilah Gudang Pade. Pemilik Gudang Pade akan mencatat berapa gunca atau naleh. Kemudian dihitung, apakah akan dikembalikan dengan sejumlah uang atau menitipkan saja, lalu diambil beras untuk keperluan sehari-hari.
Proses penggarapan sawah pun tidak dilakukan proses campur tangan. Walaupun sekarang ada tren baru, sawah dibajak dan dipanen sampai ada hasilnya. Petani ini hanya melakukan pekerjaan berat, lalu mendapatkan persen dari semua pekerjaan yang dia lakukan pada beberapa petak sawah warga. Petani ini jarang memiliki sawah, tetapi dia telah menjalankan bisnisnya, yaitu menggarap sawah warga hingga panen. Dalam beberapa tahun terakhir, tren ini menjadikan jak u blang menjadi bisnis yang menjanjikan bagi sebagian warga yang mendapatkan kepercayaan dari pemilik sawah.
Ketika proses teknologi masuk ke sawah, beberapa pekerjaan telah dilakukan oleh mesin, ketimbang oleh manusia. Istilah tu upah hampir hilang di dalam masyarakat. Bahkan, saling membantu di dalam proses persawahan sudah mulai memudar, karena teknologi sudah mampu mewakili tenaga manusia. Biasanya, para petani akan bergilir membantu sesama, mulai turun ke sawah hingga panen. Kesepakatan mereka dimulai sejak khanduri blang. Sang pemilik hanya menyediakan makan dan minum bagi warga yang menggarap sawahnya. Dia pun akan “membayar” dengan menyumbangkan tenaganya pada petani yang akan menggarap sawah mereka. Istilah tenaga dibayar dengan tenaga. Adapun untuk pupuk dan semua keperluan selama proses tanam, akan diberikan fasilitas meutang dari mereka yang memiliki toko di kampung tersebut. Ketika panen, semua amilan akan dibayar oleh sang petani.
Hareukat dan Beureukat
Semua keadaan di atas adalah kearifan lokal di dalam tradisi masyarakat Aceh. Ini dimaksudkan dengan prinsip saling membantu di dalam konsep hareukat dan beureukat. Dua konsep inilah yang membentuk karakter masyarakat untuk tidak mencari untung dan menzalimi sesama, ketika mereka saling berbisnis antara satu sama lain. Walaupun tradisi ini sudah tidak lagi mencuat, seiring dengan arus modernisasi dan teknologi digital yang membuat segal sesuatu lebih individual, daripada komunal. Sehingga rasa saling membantu di dalam masyarakat sudah mulai memudar.
Selain itu, kehadiran bisnis online dan waralaba yang memiliki konsep one stop service menyebabkan adanya perubahan cara berpikir di dalam masyarakat Aceh. Di samping itu, arus urbanisasi yang mengubah sawah menjadi tempat “cocok tanam” perumahan, rumah toko, dan bangunan-bangunan lainnya, menjadikan sistem kosmologi masyarakat Aceh tergerus secara perlahan-lahan. Arus urbanisasi ini kemudian yang menciptakan bahwa orang kampung harus berpikir seperti orang kota. Misalnya, tata kehidupan privat dan publik, yang diatur oleh sistem digital, memperkurang keadaan silaturahmi di dalam berbisnis. Akibatnya, kontrol masyarakat semakin hilang di dalam usaha mencari nafkah di Aceh.
Perubahan cara memandang makna dari penghasilan juga ikut merubahan cara berpikir masyarakat Aceh. Para pelaku bisnis bukan lagi mereka yang memiliki modal, tetapi mereka yang memiliki star up atau ikut di dalam aplikasi tertentu. Bahkan beberapa aplikasi mencari rezeki secara mudah, telah masuk ke kampung-kampung di Aceh. Aplikasi ini tentu merubah gaya hidup generasi muda yang kemudian diarahkan menjadi entreprener pada usia belia. Namun, mereka tidak dididik cara berpikir secara matan bagaimana sikap dan etika di dalam berbisnis. Saya telah melakukan kritikan terhadap salah satu aplikasi yang menawarkan pembelajaran bagi anak-anak di sekolah, namun strategi mereka lebih tepatnya sebagai kapitalisme di dalam dunia pendidikan.
Tradisi mencari penghasilan di Aceh yang sudah mengalami perubahan ini, tentu memerlukan payung hukum yang berisi norma-norma kebaruan. Apa standar etika dan akhlak di dalam berusaha bagi generasi baru di Aceh. Ketika standar etika yang lama sudah mulai ditinggalkan, maka hal-hal kebaruan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemegang otoritas di Aceh. Bagaimana seseorang tidak lagi mewariskan harta mereka yang berbentuk barang, tetapi mewariskan aplikasi, akun media sosial, dan penghasilan iklan dari YouTube, Tik Tok, dan IG. Anak-anak Aceh yang menjadi “Orang Kaya Baru” lahir di dalam ruang dan waktu, saat teknologi digital menjadi tren bagi mereka.
Akhirnya, kajian ini hanya bersifat membuka wacana supaya masyarakat di Aceh, khususnya mereka yang hidup di era millennial, sudah harus mampu menyesuaikan diri, tidak hanya dengan perkembangan teknologi, tetapi juga dengan aturan-aturan keagamaan yang melekat pada apapun akibat hukum dari dunia bisnis atau usaha mereka di Aceh. Jika hal-hal tersebut tidak diatur, maka sangat boleh jadi gempuran teknologi digital yang sudah masuk ke ruang-ruang privat dan alam pikiran generasi muda, akan menjadi masalah baru, di kemudian hari. Sebab, para pemegang otoritas abai di dalam melihat perkembangan baru ini sebagai lahan baru untuk menemukan segala sesuatu untuk kemaslahatan masyarakat Aceh secara umum.