Benarkah Ada Praktik Perjokian Publikasi Ilmiah di Kampus?
Ketika Susahnya Menjadi Guru Besar dibantu oleh Negara dan Kampus

Dalam esai ini, saya ingin mengamati temuan hasil investigasi Harian Kompas (10/02/2023) tentang praktik perjokian di kampus untuk menerbitkan artikel ilmiah di Scopus atau WoS supaya dosen dapat memenuhi syarat menjadi Guru Besar. Hasil investigasi Kompas ini pada prinsipnya bukanlah hal yang luar biasa dan menjadi begitu heboh. Sebab praktik ini sudah lama terjadi di Indonesia.
Bahkan, sejak tahun 1990-an, strategi ‘ghost writer‘ telah menyeruak di dunia publikasi di negeri ini, baik artikel maupun buku, yang diterbitkan oleh penerbit atau jurnal ilmiah. Hanya saja, saat itu tidak media sosial atau media online yang memberitakan. Bahkan beberapa orang top di negeri ini, beberapa karya mereka dituliskan oleh orang lain, yang kemudian dicatut sebagai editor dalam buku tersebut.
Para ghost writer ini adalah para akademisi yang mencari nafkah dari kedekatan dengan pejabat, melalui menulis buku tentang sosok tersebut. Bahkan mereka menjadikan profesi ini sebagai ladang amal untuk menghidupi keluarga mereka. Fenomena ini pun sebenarnya tidak hanya ditemukan di Indonesia, di beberapa negara, bahkan negara maju pun, fenomena ini bukanlah sesuatu yang langka.
Terkait dengan isu menjadi Guru Besar di Indonesia juga hal yang aneh, jika kemudian hal ini adalah juga pemandangan yang biasa. Paling tidak ada beberapa fenomena menarik untuk diulas ketika melihat fenomena menaikkan rangking kampus melalui program percepatan Lektor Kepala atau Guru Besar.
Kampus di negara tetangga ketika ingin masuk ke rangking 100 QS, menggelontorkan dana yang mencapai milyaran rupiah. Mereka memaksa dosennya untuk dapat memublikasikan karya ilmiah mereka di ISI Thomson. Beberapa peneliti asing dari Barat diajak untuk bergabung, dengan gaji yang cukup fantastik. Sebab, kalau mereka menerbitkan karya-karya ilmiah di jurnal yang bergengsi, akan sangat susah untuk ditolak, kendati mengklaim mereka menggunakan blind review. Akan tetapi, sang Managing Editor dapat ‘mengatur’ kemana dikirim, untuk dinilai. Intinya, mereka menggunakan pola ‘dari kita untuk kita demi kita.’
Adapun fenomena lain adalah menjadikan mahasiswa master atau doktoral sebagai sapi perahan karir akademik sang dosen. Hal ini memang sangat lazim dan tidak menjadi isu nasional di negeri tetangga. Karena semua hasil dari riset yang dipublikasikan akan berdampak pada karir akademik mahasiswa, pembimbing, dan kampus itu sendiri. Karena itu, pola RA (Research Assistant) atau TA (Teaching Assistant) adalah jalan untuk saling menguntungkan bagi yang terlibat.Â
Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian publikasi artikel mereka, terkadang masuk nama mahasiswa, pembimbing, ketua prodi, hingga dekan sekalipun. Hal ini, pada awalnya, tidak dijumpai di Indonesia pada tahun 2000-an. Sebab ‘demam’ Scopus belum terjangkiti di negeri ini. Di Indonesia, untuk menjadi Guru Besar cukup bermain pada level Sinta 2 saja.Â
Belakangan fenomena akademik ini muncul dalam 10 tahun terakhir. Ketika ‘demam’ Scopus masuk ke Indonesia. Tradisi akademik yang menjunjung tinggi integritas dan moralitas berujung pada semacam industri akademik. Negara ingin menaikkan rangking kampus di pentas internasional. Pengelola Scopus ingin masuk ke industri akademik di Indonesia. Mereka mendapatkan red carpet. Indeksasi menjadi hal utama.
Industri akademik ini menjadi begitu bergeliat. Jurnal-jurnal yang memiliki reputasi baik secara akademik, kemudian mulai melirik bagaimana masuk ke Scopus. Para dosen yang tidak sabar dengan proses penerbitan di jurnal bereputasi internasional, mulai banting setir meminta orang lain yang bekerja untuk dirinya. Industri akademik ini berupa jasa penulisan artikel, pelatihan penulisan artikel, penerjemahan artikel, pengeditan artikel, biaya untuk mempercepat proses penerbitan, mengundang pengelola jurnal ke kampus sebagai bentuk terima kasih, dan memberikan reward oleh pimpinan kepada mereka yang berhasil dalam menaikkan reputasi kampus di pentas internasional.Â
Semua hal di atas berlaku atau terjadi secara alami. Proses penerbitan artikel jurnal yang biasanya melalui tahapan yang berbulan-bulan, jika bukan tahunan, hanya berlangsung dalam kadar beberapa hari atau minggu saja. Semua dapat direkayasa melalui sistem dibelakang layar. Di sinilah industri akademik menjadi hal yang tidak terelakkan. Alhasil, syarat untuk menjadi Guru Besar pun diraih melalui tiket yang bernama Scopus.
Negara pun mulai mengatur syarat untuk menjadi Guru Besar. Tiba-tiba mereka yang sama sekali tidak pernah menulis artikel di jurnal ilmiah, menjadi Guru Besar. Ketika dicek Google Scholar, publikasi ilmiahnya tampak seperti seorang sarjana yang memulai tahapan early career seorang akademisi. Namun, ketika menjadi Guru Besar mempercepat posisi dan jabatannya di kampus, maka wibawa akademik mereka melekat, seiring dengan pencapaian Guru Besar. Industri ini bersenyawa dengan pendapatan yang akan didapatkan oleh sang Guru Besar.Â
Kawan-kawan saya di luar negeri, agak sedikit tersenyum melihat kemunculan para Guru Besar di Indonesia. Tentu senyuman mereka tidak akan dibahasakan secara detail, apa maksudnya. Namun, kawan-kawan saya yang sudah menulis puluhan artikel ilmiah dan buku yang diterbitkan di penerbit terkemuka, mengatakan bahwa mereka belum layak untuk mendapatkan gelar Professor atau Guru Besar. Sikap rendah hati secara akademik ini menunjukkan bahwa seorang akademisi di luar negeri harus bertungkus lumus untuk melakukan pekerjaan akademik mereka, baik sebelum atau sesudah mereka mendapatkan gelar tertinggi akademik tersebut.
Tentu kemudahan di atas, tidak sama dengan pengalaman saya yang tidak tahu dan memahami industri akademik ini. Ketika artikel pertama saya diterbitkan di salah satu jurnal di UIN Sunan Kalijaga, saya harus merevisi artikel tersebut sebanyak 7 kali. Saat itu, editor in chief adalah alumni salah satu kampus ternama di Canada. Saat itu, saya masih semester 7 dan ingin sekali menerbitkan artikel di jurnal yang berisi para sarjana terkemuka di Indonesia.
Proses revisi pun melalui tahapan yang cukup berat. Misalnya, menghabiskan dana yang tidak sedikit. Harus duduk warung rental komputer, karena saat itu masih belum ada laptop dalam kamar kost. Namun, ketika terbit, ada kepuasan tersendiri, sebab artikel ini menjadi acuan bagi saya untuk menulis karya-karya ilmiah berikutnya.
Salah satu hal yang saya lakukan adalah ‘menyumbang’ artikel untuk jurnal-jurnal yang baru terbit. Salah satu kontribusi saat itu adalah menerbitkan artikel di salah satu kampus pada edisi perdana. Saya tidak pernah membayangkan kalau jurnal-jurnal yang menerbitkan artikel saya kemudian menjadi jurnal bergengsi saat ini dan diincar oleh para akademisi untuk menerbitkan tulisan-tulisan mereka supaya menjadi tiket menjadi Guru Besar.
Pengalaman yang paling pahit adalah menerbitkan dua artikel di seri Oxford Islamic Studies Online yang digawangi oleh John L. Esposito. Salah seorang mentor saya dari Thailand mengatakan bahwa pengalaman menulis di seri ini akan memberikan dampak karir akademik. Benar adanya. Akan tetapi, proses saya menerbitkan di seri ini tidaklah mudah. Saya harus memperbaiki bahasa Inggris berulang kali, sampai akhirnya hampir putus asa. Namun, mentor saya memberikan semangat, untuk tidak menyerah. Akhirnya, dua artikel saya diterbitkan di seri ini. Tentu untuk membacanya kita harus membayar.
Semua karya jurnal yang mencapai hampir lebih 30 buku dan 50 artikel sejak tahun 1999, sama sekali bukanlah tiket saya untuk menuju Guru Besar. Sebab, semua karya-karya masa lalu tidak akan pernah diakui. Pengalaman saya mengajukan Guru Besar pun ibarat seperti keluar dari satu lobang, masuk ke lobang lainnya. Karya masa lalu hanya untuk masa lalu, bukan untuk masa sekarang.
Cerita lika liku mendapatkan Guru Besar memang tidak seperti pengalaman saya menulis buku dan artikel. Ketika diajukan pada tahun 2019, pihak penilai sudah mengatakan bahwa syarat karya ilmiah sudah cukup, dengan melihat hasil review para penilai karya ilmiah. Namun, diujung dikunci bahwa saya tidak cukup syarat dalam hal pangkat administrasi. Lalu, harus menunggu syarat ini supaya dapat diajukan kembali.
Setelah cukup syarat administrasi, lalu muncul lagi peraturan lain yang menghalangi tahapan-tahapan berikutnya. Setelah sampai di Dikti, pengajuan saya dianggap sebagai loncat jabatan dan muncul lagi peraturan bahwa untuk bidang keilmuan agama harus melalui Kementerian Agama. Peraturan yang berubah-ubah tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi saya.Â
Pengalaman pengajuan karya ilmiah untuk menjadi Guru Besar tentu berbeda dengan mereka yang mendapatkan nasib baik. Karya ilmiah yang difasilitasi oleh kampus. Memiliki koneksi dengan mereka yang menentukan nasib seseorang menjadi Guru Besar. Karena itu, saya menganggap hanya di Indonesialah drama akademik dan industri akademik berjalan seiring sejalan.
Tentu saja, pengalaman di atas bukanlah ingin mengatakan bahwa ada yang salah dengan dunia akademik di Indonesia. Semua memiliki cerita masing-masing, suka duka meraih gelar Guru Besar di Indonesia. Cerita saya ingin mengatakan bahwa tidak semua para akademisi di kampus di negeri ini yang menggunakan Joki, sebagaimana disinyalir oleh harian Kompas. Ada di antara mereka yang berjuang untuk mendapatkan gelar Guru Besar. Ada yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal.
Sementara tidak sedikit Guru Besar yang muncul karena jasa mereka kepada negara. Pidato pengukuhan mereka ditulis. Karya ilmiah mereka dikerjakan oleh tim. Pejabat tinggi negara hadir pada saat Pengukuhan Guru Besar mereka. Seorang pejabat yang menjadi Guru Besar tentu sangat tidak mungkin mereka membaca jurnal-jurnal atau rujukan yang berkualitas untuk dijadikan bahan tulisan mereka. Semua sudah dikerjakan. Tidak menutup kemungkinan disertasi pun dikerjakan oleh tim yang loyal pada pejabat tinggi ini. Ini adalah Guru Besar hasil dari ‘fasilitas negara.’
Akhirnya, saya tidak ingin menceritakan lebih detail bagaimana operasionalisasi industri akademik di Indonesia. Biarlah ini menjadi cerita anak negeri, ketika mereka hendak menaikkan status akademik mereka. Semakin banyak diulas perilaku industri akademik di negeri ini, semakin sulit memahami makna hakiki dari gelar akademik yang mereka sandang saat ini.