
Prawacana
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang yang menjadi sultan atau sultanah hanya dari menjadi penanya dalam berbagai acara, baik di media sosial maupun media televisi.
Mereka seolah-olah cukup serius dan terkadang memunculkan berbagai pertanyaan kritis. Lawan bicara terkadang tokoh publik, yang juga mendapatkan panggung dari model wawancara di media televisi, misalnya.
Adapun yang menarik bagi saya adalah cara bertanya dan berargumen para penanya, yang kadang seolah-olah sudah berada di pihak yang cukup benar adanya. Mereka mewakili hak publik untuk mendapatkan informasi.
Namun melihat beberapa isi wawancara media televisi swasta nasional, terutama oleh host yang cukup terkenal, terkadang harus berpikir ulang. Apakah benar mereka sedang bertanya atau pura-pura serius, demi mendapatkan informasi dari narasumber.
Terkadang narasumber digiring, disudutkan, “dilecehkan” oleh para penanya, hingga terkadang bagi mereka yang tidak berpengalaman ditanya, akan takut berada di hadapan mereka.
Proses bersilat kata ini memang memiliki seni tersendiri. Tetapi mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, yang cenderung menyudutkan narasumber, sungguh bukan budi pekerti yang mulia.
Ada host yang memiliki mimik atau bahasa tubuh yang cenderung menghormati dan malah mengaduk-aduk emosi narasumber. Ketika melihat model wawancara seperti ini, saya malah berpikir, masih ada manusia seperti ini.
Model bertanya yang begitu agresif mengingatkan saya pada debat kusir, dimana yang menang adalah yang besar suara. Kalau kalah biasanya lempar mic atau kursi sebagai drama debat kusir.
Dari beberapa kali menonton acara wawancara dengan berbagai tema atau judul di televisi dan media sosial, saya ingin membagi cara-cara bertanya host dalam 4 kategori.
Bertanya Demi Cuan
Cara bertanya ini sebenarnya hanya untuk mengais rezeki, daripada iklan semata. Kualitas cara dan isi pertanyaan, sama sekali jauh dari kata berkualitas. Cara bertanya seakan-akan mewakili perasaan publik kerap menimulkan mimic atau bahasa tubuh yang seakan-akan dia yang bertanya adalah yang paling bersih atau benar.
Cara bertanya demi cuan ini sering memanipulasi perasaan penonton dan menjawab rasa ingin tahu publik. Di sini sang host pura-pura serius, tetapi dia sama sekali bukan ingin menunjukkan kepedulian atau empati, melainkan mengejar rating, agar acaranya diminati oleh masyarakat atau penonton.
Para host atau televisi tersebut kemudian menggoreng isi wawancara tersebut ke dalam berbagai penggal dan dikaitkan dengan berita, baik setelah maupun sebelum acara tersebut.
Bertanya Demi Publik
Ini yang paling sering muncul dimana sang host mewakiliki jutaan rasa ingin tahu publik. Dia mewawancarai narasumber seolah-olah seorang pahlawan seperti Zorro. Pertanyaannya kadang tidak berbobot atau cuma ingin mendramatisir keadaan, supaya ketika terjadi klarifikasi atau konfrontir, seakan-akan sudah menjawab rasa penasaran publik.
Terkadang sang narasumber juga mewakili publik atau pihak tertentu yang dibela. Di sini muncul sebuah ungkapan, dimana kekuasaan dijunjung, disitu kepentingan diusung.
Ada saat ketika beberapa media pertelevisian membantu kepentingan politik atau kekuasaan tertentu, para host kemudian selalu menyelipkan kepentingan kekuasaan atau kepentingan tertentu dalam pertanyaan mereka.
Terkadang drama pembodohan publik pun tidak dapat dihindari. Pola setting agenda atau setting opinion kerap menjadi misi utama media, ketiak mereka memakai filosofi dimana kekuasaan dijunjung, disitilah mereka mengusung kepentingan.
Bertanya Demi Data
Ada juga host yang bertanya, mereka sudah mendapatkan sekelumit data dari timnya. Lalu dia akan membabi buta bertanya dalam forum dengan memperhadapkan dengan tokoh yang dianggap mewakili kepentingan publik.
Di sini narasumber ditelanjangi secara terbuka. Tentu saja bertanya karena memiliki data ini sering mempermalukan narasumber di hadapan publik. Akan tetapi, karena hal ini sudah biasa di republik ini.
Tidak ada satupun Lembaga di negara ini yang mencoba memberikan masukan mengenai etika bertanya atau berdebat di hadapan publik. Saya kerap melihat bahasa tubuh atau tutur kata yang jauh dari kata sopan, ketika pertanyaan yang diajukan cenderung menyudutkan sang narasumber.
Devil Advocate!
Trend devil advocate memang sering terjadi di ruang publik di dalam acara debat atau diskusi di dunia pertelevisian. Sangat boleh jadi, sang host terkadang memainkan peran Devil Advocate, ketika membabi buata kepada nara sumber.
Devil Advocate bukanlah pengacara iblis, tetapi dia berperan sebagai orang yang memiliki argument berlawanan untuk menguji suatu pertanyaan atau pendapat. Kadang kala peran mereka sering dinantikan, terutama ketika mendapatkan narasumber yang memang piawai bersilat kata.
Tidak menutup kemungkinan para host yang bertanya sangat tajam dan kritis sedang memainkan peran sebagai Devil Advocate. Mereka bertanya untuk menguji opini publik. Kendati mereka membabi buta bertanya, tentu setelah itu mereka akan bersalaman dengan para narasumber.
Dari empat model gaya dan sikap pada host di atas, tentu saja profesi ini sangat menjanjikan secara materi. Beberapa program mereka mencapai jutaan pemirsa di media sosial, misalnya YouTube. Bahkan host senior masih menggunakan profesi ini sebagai tempat untuk mencari penghasilan.
Sebab itu, tidak mengejutkan bahwa argumen bersilat kata untuk mendapatkan harta adalah fenomena yang lumrah saat ini. Beberapa host terkemuka dunia, memang tidak setajam dan menyudutkan narasumber, sebagaimana diperagakan oleh para host nasional di televisi swasta.
Beberapa host terkemuka, dia hadir mencerahkan penonton atau pemirsa dari isi dan cara dia bertanya. Mencerahkan adalah kata yang lebih baik, ketimbang mengatakan bahwa dia boleh semena-mena bertanya, hanya karena ingin hak publik terpenuhi dari informasi yang dia gali dari narasumber.
Host yang mencerahkan tidak begitu banyak di negeri ini. Dulu saya masih ingat bagaimana Eep Saifullah Fattah menjadi host di salah satu televisi nasional. Dia bertanya karena dia benar-benar ingin memberikan pemahaman kepada publik. Ada juga host Helmy Yahya yang dengan gaya bertuturnya, seseorang merasa nyaman kalau dia yang menjadi hostnya.
Purnawacana
Kehadiran seorang host bukan hanya diukur dari pertanyaan yang kritis atau menyudutkan, tetapi bagaimana dia mampu hadir membawa pencerahan kepada publik.
Publik tidak perlu digiring dengan pertanyaan kita. Mereka berhak mendapatkan informasi dari cara bertanya yang santun kita. Terkadang bahasa tubuh sang host menunjukkan sebenarnya, dia adalah sedang mengejar rupiah, untuk menaikkatkan cuan bagi dirinya.
Gaya bertutur yang terkadang yang menyindir, bukanlah gaya berbahasa yang baik di depan publik. Gaya menggunakan tangan kiri menunjukkan orang lain, bukanlah ciri khas budaya di Nusantara. Menyudutkan lawan bicara bukan adab atau sopan santun di negeri kita.
Kadang kita lupa, jangan-jangan, mereka bertanya hanya untuk bersilat kata dan harta. Kalau perilaku mereka jauh dari kata santun dan etika, apakah mereka juga dapat dikatakan bersih dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari.