Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
CommunityEthnography

Masyarakat Rasional Versus Masyarakat Emosional

Mengapa Kita Cepat Tersinggung?

Table of Contents

Prawacana

Dalam esai ini, saya ingin menjelaskan secara ringkas tentang masyarakat rasional (rational society) versus masyarakat emosional (emotional society). Dengan kata lain, kita ingin bertanya mengapa kita cepat tersinggung. Dewasa ini, kenyataan sosial ini semakin akut, manakala semua orang berhak untuk meluahkan emosi mereka di ruang publik.

Dalam konteks ini, luapan emosi menjadi semakin terasa, ketika setiap individu mampu menuangkan emosi mereka dalam bentuk emoji atau meme. Orang semakin bebas mengekspresikan kemarahan mereka di alam maya, khususnya di media sosial. Apakah ini petanda bahwa kita sedang menuju kepada masyarakat emosional (emotional society)?

Wacana

Keadaan masyarakat, baik di alam darat maupun daring, cenderung telah termanfaatkan oleh perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat rasional, yang dikenal sebagai penanda era modern atau bahkan post-modern. Masyarakat tradisional menjadikan kekuatan emosi (emotional power) sebagai bagian dari konsensus yang membuat mereka saling memiliki antara satu sama lain.

Belajar dari para antropolog yang menggali cara berpikir masyarakat pedalaman, mereka mendapati bahwa kekuatan kebudayaan sangat bergantung pada kekuatan emosi yang terbangun dalam masyarakat tersebut. Sesuatu yang bersifat emosional, terkadang tidak rasional, bagi kita yang hidup di era modern. Sehingga, kekuatan emosi ini menjadi bahan kajian dalam studi kebudayaan yang dikenal dengan emotional landscape.

Emosi ini menjadi pengikat dan kesatuan yang amat susah dipahami, jika belum distudi cara berpikir dan cara memaknai suatu komunitas. Semakin dipahami bagaimana kekuatan cara berpikir masyarakat, semakin mudah juga dimengerti bentuk-bentuk emosi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Semakin unik ekspresi emosi yang terlihat, semakin berat para penstudi kebudayaan untuk mencari alasan-alasan tersembunyi dibalik perilaku tersebut.

Also Read  In Memoriam: Selamat Jalan Kang Eman Hermawan!

Kekuatan emosi dalam masyarak tradisional kemudian mulai redup, ketika dentuman pengaruh masyarakat rasional melingkari mereka. Aspek rasionalitas menjadi hal penting dalam sejarah masyarakat modern. Karena itu, aspek kemasukakalan menjadi begitu penting dalam pembinaan masyarakat. Sesuatu yang tidak masuk akal atau diluar nalar, perlahan-lahan digerus oleh tindakan-tindakan ideal yang bersifat rasional.

Pengaruh sosiologi dan aliran filsafat kemudian memberikan pisau analisa untuk membedah bagaimana kemasukalan dan ketidakmasukalan. Dunia realitas harus dipahami oleh akal pikiran manusia dalam bentuk narasi-narasi empirisme secara detail. Semakin mudah dan terjelaskan suatu realitas, semakin tidak pelik pula pemahaman dan proses teoritisasi keilmuan terbangun di balik realitas tersebut.

Akan tetapi, ketika realitas sudah tidak lagi di alam nyata, melainkan sudah ke alam maya, maka perlahan-lahan masyarakat rasional menciptakan suatu keadaan yang kembali pada situasi masyarakat tradisional. Mereka memerlukan simbol untuk mewujudkan emosi mereka. Akal pikiran yang rasional menciptakan situasi emosional terbaru.

Inilah sejarah baru bahwa masyarakat, apapun era yang mereka masuki, tidak akan terlepas dari ekpresi emosi yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan mereka. Emosi kemudian bagi dari kehidupan digital (digital life) yang berwujud menjadi budaya digital (digital life). Orang mulai bebas meluahkan perasaan mereka dalam bentuk simbol-simbol yang dihasilkan oleh teknologi informasi.

Akibatnya, masyarakat cenderung menjadi cepat emosi dalam merespon apapun, terlebih lagi jika itu mengundang sesuatu yang cepat baper.  Dulu tahun 1980-an, Indonesia sempat dikenal sebagai negara cengeng, karena masyarakat sangat tertarik dengan lagu-lagu sedih dan melankolis. Pencipta lagu seperti Obbie Messakh menjadi laris manis, karena lagu-lagunya mampu mewakili perasaan masyarakat saat itu.

Lagu Betharia Sonata menjadi begitu heboh yaitu Hati yang Luka. Saat itu, lagu-lagu Ratih Purwasih begitu melegenda, sampai ke pelosok desa. Lagu-lagu dari Tanah Melayu pun ikut menyerbu perasaan anak bangsa saat itu. Kasih tidak sampai. Ditinggal nikah oleh pasangan. Orang tua yang tidak merestui. Gap antara si miskin dan si kaya. Jarak antara dua kekasih. Tema-tema lagu ini menjadi sangat viral saat itu.

Also Read  Touring Dari Banda Aceh ke Kota Langsa

Orang mendengarnya berulang-ulang. Sebab semua perasaan mereka ada di lagu-lagu yang sedang mereka simak. Emosi masyarakat yang tertulis dalam lirik lagu, menjadi perwakilan perasaan manusia di Indonesia ketika itu. Lagu-lagu rock balad yang mendayu-dayu dari Tanah Seberang pun ikut menyerang perasaan rakyat Indonesia.

Alhasil, industri lagu cengeng menjadi booming saat itu. Semua orang sepakat bahwa lagu-lagu yang dinyanyikan dalam bentuk kesedihan akan membuat perasaan gue banget. Dengan kata lain, pengalaman sebagai masyarakat emosional telah terjadi dalam sejarah perasaan masyarakat Indonesia.

Saat itu, ketika kecerdasaan dan kesadaran buat menjadi produsen data dan gagasan, maka dunia maya pun akan sangat aktif merekayasa masyarakat cengeng dengan model baru, tentunya. Karena itu, masyarakat emosional pun terbentuk dengan sendirinya.

Karena di alam maya, orang tidak berhadapan langsung, maka peluang untuk meluahkan ekspresi mereka semakin terbuka lebar. Dalam keadaan apapun, mereka bisa berkomentar atau sekedar memberikan emoji atau meme, kemudian perilaku tersebut akan memuaskan diri mereka sendiri. Karena rekayasa sosial di alam maya seperti ini, masyarakat atau netizen semakin cepat emosian. Cepat merespon. Cepat mencibir. Cepat menghakimi. Pada ujungnya, mereka menjadi model baru masyarakat baperan di alam maya.

Purnawacana

Akhirnya, diskusi ini hanya pembuka ruang untuk memahami keadaan masyarakat kita saat ini. Masyarakat dimana lebih cepat memutuskan sesuatu dengan mengurangi peran akal sehat mereka. Di sini, akal sehat telah diwakilkan pada kecerdasan dan kesadaran buatan, sehingga masyarakat menjadi malas berpikir atau mencerna sesuatu melalui akal pikiran yang dianugerahi oleh Tuhan.

Lebih dari itu, esai ini juga mengajak masyarakat emosional untuk kembali menjadi masyarakat rasional. Jangan membiarkan ICT membajak pikiran mereka. Jika hal ini terjadi, maka sama sekali telah terjadi kematian cara berpikir atau cara menggunakan akal sehat dalam memahami suatu fenomana, baik di alam nyata maupun di alam maya.

Also Read  Agama Sebagai 'Buluh Perindu', Budaya Sebagai 'Azimat Sosial, dan Nilai Sebagai 'Kosmetika Sosial' dalam Masyarakat Aceh

 

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button