Baru-baru ini telah terjadi lagi kejadian tragis yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswi di Banda Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian bunuh diri di kota ini sudah pernah terjadi beberapa kali. Uniknya, hampir semua pelaku bunuh diri merupakan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Banda Aceh. Diskusi tentang penyebab bunuh diri pun sudah mulai merebak di media sosial.
Dalam konteks ini, Saya ingin memberikan pengalaman sebagai tenaga pengajar yang sudah belasan tahun berinteraksi dengan mahasiswa di Darussalam. Tentu ada banyak cerita mahasiswa/i yang telah kami simak dan pahami. Hampir semua mahasiswa yang kami jumpai selalu memiliki cerita sendiri yang unik dan khas.
Paling tidak, ada beberapa narasi besar yang didapati. Pertama, ada yang datang dari keluarga biasa-biasa saja di kampung halamam, namun karena pergaulan di kota Banda Aceh, tidak sedikit di antara mereka yang membukan “bisnis sampingan” dengan memakai tarif yang tidak sedikit. Biasanya mereka terpengaruh karena melihat teman-teman mereka yang sudah berhasil dalam “bisnis sampingan.” Dapat dipahami bahwa selain berprofesi sebagai mahasiswa, mereka juga membuka jasa yang mendatangkan keuntungan yang super cepat, di mana tubuh mereka menjadi barang dagangannya.
Kedua, ada para mahasiswa datang dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Terkadang orang tua mereka sudah berpisah atau mengalamai broken home. Pengalaman kesakitan akibat perpisahan orang tua membuat mereka menjadi labil, khususnya ketika ada tuntutan ekonomi dan harus selesai kuliah dalam kadar waktu tertentu. Beberapa yang kami jumpai menceritakan bagaimana tekanan ekonomi dan tuntutan keluarga membuat mereka tidak memiliki pilihan yang baik ketika menentukan sikap. Di antara mereka ada yang kemudian bekerja paruh waktu di Banda Aceh, mulai di Café, laundry, jual pulsa, menjaga toko, buruh bangunan hingga menjadi bagian dari bisnis asusila.
Ketiga, ada juga para mahasiswa yang pernah menjadi korban kekerasan, baik di dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan di kampung halaman. Pengalaman disakiti oleh orang tua, jika bukan dipukuli oleh mereka, ternyata memberikan dampak pemberontakan terhadap beberapa mahasiswa yang kami jumpai. Demikian pula, pengalaman dibully, mulai dari yang “normal” hingga “tidak normal” membuat mereka tidak begitu stabil, saat menempuh studi mereka di kampus. Pengalaman traumatik mengakibatkan mereka cenderung tidak stabil.
Keempat, tidak sedikit para mahasiswa sudah menikmati kebebasan yang tanpa batas saat di bangku sekolah menengah di kampung halaman. Beberapa mereka yang sudah menjadi pelaku dalam kebebasan ini benar-benar menikmati kota Banda Aceh sebagai ajang mereka meluapkan kebebasan yang tanpa batas tersebut. Minimnya pemantauan dari orang tua dan tidak adanya orang yang disegani oleh mahasiswa tersebut menyebabkan mereka menjalani kehidupan yang tidak terkontrol.
Kelima, menjadi korban sesama mahasiswa, khususnya dari senior ke junior. Upaya para mahasiswa senior mengincar “mahasiswi yang bening” menjadi hal yang biasa setiap awal tahun perkuliahan. Di sini perangkap relasi keorganisasian dan relasi kekuasaan berubah menjadi relasi suka sama suka. Tidak menutup kemungkinan ada korban yang kemudian diperas melalui pengebaran foto atau saat Video Call, sehingga korbannya tidak dapat melawan sama sekali. Pola “bandit kelamin” di kalangan mahasiswa yang memeras korban mereka, jika mengincar keperawanan mereka adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Terkadang kos-kosan, rumah sewa, hingga menyewa hotel murah di luar kota adalah kesepakatan yang tidak dapat ditolak oleh sang korban.
Keenam, ada juga mahasiswa saat perkuliahan mengalami pengalaman yang tidak “sehat” ketika membangun relasi dengan tenaga pengajar (dosen). Di sini tidak sedikit kemudian hubungan kemahasiswaan yang bersifat keilmuan berubah menjadi “hubungan yang terlarang.” Mereka bahkan menjadi tempat pelampiasan tenaga pengajar untuk sekedar mengumbar kata-kata manis saat berkomunikasi. Beberapa mahasiswi kemudian ada yang “jijik”, tidak sedikit yang merasa “tertekan.” Karena ini terjadi di ruang privat, maka sungguh tidak mungkin mereka mau menceritakannya, jika masih ingin menjaga nama baik dirinya dan dosennya.
Ketujuh, terdapat juga pada mahasiswa yang saat mereka kuliah tidak mampu membangun komunikasi yang prima dengan civitas akademika. Beberapa mahasiswa merasakan cepat “baper.” Tidak sedikit yang stress, jika dosennya tidak membalas WA. Kemudian memohon “perbaikan” nilai di tengah malam, sambil mengetik WA, namun ketika ditelpon balik oleh dosen sudah “pucat.” Akhirnya, mereka merasakan kemeranaan yang tiada tara, saat menjalani masa studinya di kampus. Di satu sisi, berani berkomunikasi secara daring, ketika via darat, mereka tidak menunjukkan sebaliknyanya. Akhirnya, mereka memendam rasa “baper” yang berkepanjangan.
Kedelapan, biasanya mahasiswa yang berasal di bawah garis kemiskinan mendapatkan biasiswa KIP, yang menuntut nilai mereka harus maksimal. Namun demikian, ketika memperoleh nilai yang tidak membuat mereka disambung beasiswanya, menyebabkan mereka mengalami tekanan mental. Sebab, ketika beasiswa diputus, maka kehidupan mereka di kota Banda Aceh akan menjadi luntang lantung. Mereka yang awalnya merasa nyaman karena mendapatkan transferan setiap 6 bulan sekali, lalu kemudian terjerembab dalam kesulitan ekonomi. Mau mengadu ke kampung halaman, orang tua tentu tidak tahu harus berbuat apa.
Kesembilan, ada kalanya mahasiswa yang kebiasaan berhutang dan menipu sebagai kebiasaan mereka, karena mudah untuk memutar kata, saat menipu kawannya. Pola berhutang atau bahkan sampai mencuri adalah hal yang tidak dapat diabaikan, baik oleh mahasiswa maupun mahasiswi. Mereka hidup “gali lobang tutiup lobang. Hingga kemudian mulai melirik judi online atau pinjaman online. Fenomena ini membuat mereka mengalami tekanan mental, saat harus membayar hutang. Karena itu dalam benaknya upaya untuk terus menggali lobang dan tutup lobang, hingga kemudian di antara mereka harus menghilang, karena dililit hutang.
Kesepuluh, ada juga para mahasiswa yan berupaya menipu orang tua dalam segala hal. Ketika uang SPP dikirim, kemudian dihabiskan di aplikasi judi online atau sibuk berpesta bersama teman-temannya. Ketika hendak selesai kuliah, berbagai upaya dilakukan untuk menipu orang tua. Alhasil, ketika semua proses penipuan ini terbongkar, biasanya mereka mengalami sakit jiwa, jika bukan menuju pada potensi kegilaan.
Kesebelas, ada dorongan kuat di kalangan mahasiswa yang hidup secara hedon. Mereka lantas “mabuk” di media sosial. Sehari-hari memotret diri mereka sendiri di media sosial. Pujian menjadi obat yang membuat mereka semakin yakin dengan ketenarannya di media sosial. Karena itu, kecantikan dan flexing menjadi hal yang biasa untuk diperagakan di media sosial. Ketika semua puncak ketenaran ini tidak memberikan dampak jangka panjang dalam kehidupan, maka stress menjadi jawaban atas upaya self reputation di media sosial.
Beberapa masalah di atas tentu bukanlah penyebab di antara mereka yang melakukan bunuh diri. Ada faktor kejiwaan lainnya yang mungkin menyebabkan mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka. Ketika mereka tidak memiliki kemampuan untuk merespon terhadap masalah pribadi, dimana tanggungjawab kehidupan tidak dapat lagi dipenuhi, maka mengakhiri hidup adalah jawaban pasti. Karena itu, penyebab bunuh diri di kalangan mahasiswa di Banda Aceh masih perlu digali. Akan tetapi masalah-masalah di atas menjadi “living problem” bagi sebagian mahasiswa yang tidak mengalami kesehatan mental yang baik.
Sebagai contoh, dorongan masa studi yang harus diselesaikan, karena lalai selama 13 semester, maka tuntunan untuk mengakhiri masa studi menjadi tanggung jawab. Karena tidak ada lagi pilihan yang harus menjadi opsi, maka untuk meresponnya diperlukan pendampingan yang sangat aktif. Demikian pula, ketika pacar sudah menyimpan foto tidak berpakaian seorang mahasiswi, misalnya, maka tekanan mental yang tadi awalnya dalam nuansa penuh cinta dan kasih sayang, berubah menjadi petaka yang harus dipikirkan selama berhari-hari. Ketika hutang sudah mencapai puluhan juta, karena tidak penghasilan, maka mata mulai gelap dalam kamar kost. Ketika berhubungan suka sama suka, kemudian menghasilkan “dua garis”, maka pikiran dan emosi menjadi tidak lagi stabil, jika bukan gelap mata. Ketika beasiswa yang menjadi penopang hidup seorang mahasiswa, bahkan adik dan keluargnya, tidak ada lagi, maka seorang anak yang cerdas pun akan mengalami tekanan mental.
Jadi, kehadiran mahasiswa di Banda Aceh saat ini bukanlah generasi yang tahan banting akan semua persoalan. Ada yang mampu melewatinya secara perlahan-lahan. Tidak sedikit yang kemudian mengambil jalan pintas, tentu bukan dengan bunuh diri. Pendampingan mahasiswa saat ini di Banda Aceh menjadi hal yang mendesak. Kendati mereka sendiri tampaknya tidak mau didampingi, karena alasan malu atau lainnya.
Jumlah istirahat yang kurang di kalangan mahasiswa dan mahasiswi. Setiap malam scroll HP hingga pagi hari. Makanan yang dikonsumsi sama sekali jauh dari kata sehat. Kalau ada tugas langsung bersalaman dengan Chat GPT atau Gemini, maka otak sama sekali tidak dilatih untuk merespon supaya berlatih berpikir mandiri. Setia pada panggilan prodi selalu dihindari, takut ditanya masalah kampan selesai masa studi. Manakala orang sekitar tidak peduli. Maka aksi bunuh diri menjadi salah satu jawaban pasti.
Rangkuman faktor yang membuka mata kita. Terimakasih KBA
Sama-Sama Bapak. Ke depan kita akan menemui masalah ini akan lebih parah.
Izin share Prof… Tulisan yg urgent utk fenomena generasi muda saat ini yg sgt memprihatinkan kita semua.
Slain itu, faktor iman mgkin juga bisa jd pencetus, Prof… Mhsw merantau ke Banda dlm kondisi minim iman dan relasi dg Tuhan, sbgi buah dr didikan di dlm rumah tangga.
Saat ini terlalu bny mhsw yg abai akan kewajiban shalat, sbgi indikasi kurang iman. Wallahu a’lam…. 😥
Terima Kasih Bu. Faktor teologi memang menjadi hal penting. Mungkin ada di antara kita yang bisa menuilis. Kasihan adik-adik mahasiswa kita saat ini.
Izin share Prof….
Sebuah kajian yg sgt urgen atas fenomena yg mmg sdh memprihatinkan dan perlu perhatian bny kalangan di Aceh terhdp generasi yg dilaqob dg generasi ‘strawbery’ ini.
Slain bny faktor tsb, jg mgkin faktor iman dan tontonan. Mhsw merantau ke Banda tanpa iman yg cukup yg diwariskan dr keluarga dan tontonan Drakor yg kerap mengajarkan aksi bunuh diri sbgi solusi bagi sebuah masalah mereka. Wallahu a’lam….
Disini kita tau betapa banyak PR yang harus Masyarakat dan pemerintah selesaikan dari hulu hingga hilir.
Terima Kasih. Ini menjadi tanggung jawab sosial kita bersama.
Terima kasih Prof KBA yg sangat detail mengurai persoalan mahasiswa, smg semua pihak dapat berkontribusi dlm minimalisir perdoalan2 diatas
Terima Kasih Bu. Semoga sehat selalu.
Terima kasih Prof. KBA telah membuka mata kaula muda baik itu mahasiswa/i lewat opini menarik ini.
Faktor-faktor yang Prof. sebutkan tampaknya memang begitu reel terjadi. Harapan kita semua kiranya dapat menghadirkan solusi dari semua pihak untuk menyelamatkan seluruh mahasiswa/i di Bumoe Pusaka, Seuramoe Mekkah. Amin
Terima Kasih. Amien Ya Rabb.
Sangat benar semua faktor yang dipaparkan oleh Prof. KBA.
Terima Kasih Bu Prof. Semoga keprihatian kita dapat mengurangi beberapa persoalan yang mendera masalah sosial kita.
Yang di sampaikan oleh pak dekan sangatlah benar semua, perubahan gaya hidup terutama flexing dan seks bebas faktor anak2 msswi mmlih bundir.. saya yg berkecimpung dunia advokat, srg mendapatkan laporan2 prodeo dari kepolisian tindak pidana jual diri dari mi chat, dan terlibat kasus asusila garis 2…
Kalau sudah menjadi akibat, kita semua berdoa yang terbaik. Masalah besar akan datang setelah fenomena bunuh diri ini. Terima Kasih.