Memahami Fenomena Citayam Fashion Week

Saya pernah menulis satu artikel yang menyoroti tentang jalanan di Indonesia sebagai panggung orkestra publik. Jalanan di Nusantara memang menjadi semacam ruang publik yang sangat komplek. Fenomena Citayam Fashion Week adalah salah satu contoh atraksi orkestra publik baru-baru di Jakarta.
Anak muda yang awalnya biasa-biasa saja, namun kerena media sosial, kreatifitas Citayam Fashion Week menjadi viral di negeri ini. Hampir semua penjuru Nusantara menonton bagaimana anak muda dari SCBD menjadikan jalanan sebagai ajang untuk fashion show.
Gejala ini pun mendapatkan perhatian dari kalangan arti papan atas. Mereka pun ikut nimbrung di jalanan yang awalnya mungkin mereka sangat alergi dengan situasi jalanan yang begitu tidak bersahabat, terlebih lagi untuk fashion show.
Namun, begitulah kekuatan media sosial. Siapapun akan melebur dalamnya. Tidak peduli kasta sosial. Tidak peduli latarbelakang ekonomi. Proses peleburan sosial ini menyiratkan bahwa sebenarnya siapapun di negeri ini, berhak untuk terkenal dan dikenali oleh khalayak.
Kemunculan anak muda yang kemudian di kenal dengan sebutan SCBD yang awalnya adalah Sudirman Central Business District berubah menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok. Anak muda yang awalnya mangkal di kawasan Sudirman yang awalnya sebagai salah satu pusat bisnis, berubah menjadi ajang pertemuan anak-anak muda dari SCBD.
Ruang publik di kota besar memang terkadang banyak digunakan untuk nongkron. Mereka terkadang menjadi berbagai fasilitas publik sebagai ajang untuk membuat content untuk saluran media sosial mereka (YouTube, Tik Tok, Instagram, dan lain sebagainya).
Tentu saja hal ini juga sebagai lahan bisnis yang amat menjanjikan bagi para pelaku, pasar, dan pemilik media sosial. Kepentingan akan cuan dari kelompok-kelompok tersebut, menjadikan ruang publik yang gratis sebagai panggung untuk content creator.
Karena itu, ketika pemerintah pun tidak mempermasalahkannya, maka ruang publik semakin bebas untuk digunakan demi mengeruk cuan. Saya pun pernah membahas bagaimana kemunculan Masyarakat Cuan di Indonesia. Seorang yang piawai di dalam memanfaatkan media sosial, mereka akan mengeruk pundi-pundi rezeki yang cukup menjanjikan.
Karena itu, ketika Citayem Fashion Week digelar, maka tidak perlu EO atau pengumuman. Semua itu melihat sebagai kesempatan untuk mendapatkan cuan secara berjamaah.
Hanya saja, kreatifitas anak muda ini tentu akan mudah digiring pada konflik kepentingan yang melihat ini sebagai potensi yang menjanjikan atau membahayakan. Semua hal itu sering terjadi di Indonesia, saat sesuai sudah viral, maka unsur kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan akan ikut bersamanya.
Menjadikan Zebra Cross sebagai ajang unjuk kebolehan, juga saat temui keliling Indonesia dari Aceh ke Papua. Manusia Perak. Pagelaran Angklung. Tarian Tradisional. Boneka Manusia. Itu adalah beberapa potret anak muda yang menjadikan Lampu Merah atau Zebra Cross untuk mengais cuan.
Karena itu, sebagai milik publik tentu sangat disayangkan manakala ada upaya untuk mengambik kesempatan untuk mengeruk kekayaan oleh pihak-pihak tertentu dari fenomena Citayam Fashion Week.
Kendati sudah tidak lagi direstui oleh aparat keamanan, namun fenomena ini akan terus berlanjut, walaupun mereka pindah tempat. Hal ini disebabkan gedung-gedung yang menjulang ke langit, tidak bersahabat dengan anak-anak dari kelas yang sederhana untuk bisa menarik perhatian publik.
Mereka tentu saja dari keluarga biasa. Bukan Crazy Rich. Tidak pernah pamer isi parkir atau garasi di rumah. Tidak pernah unjuk kemewahan di dalam rumah . Tidak mampu pamer isi ATM. Karena itu, jika kemudian ada upaya untuk mencari kesempatan demi semua bisnis yang lebih besar dari kreatifitas anak muda ini, tentu amat disayangkan.
Karena itu, ketika ada upaya untuk mematenkan Citayam Fashion Week, publik akan merasak tersakiti secara sosial. Walau biasanya nanti juga akan banyak muncul merek dagang dari konsep ini.
Kembali ke anak muda yang tiba-tiba terkenal dan mendadak artis. Fenomena mendadak ngartis adalah hal yang biasa. Banyak yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian, karena tidak memiliki modal secara personal development kemudian tenggelam dari perhatian publik.
Sindiran dan pujian adalah hal yang lumrah, bagi mereka yang mendadak jadi artis. Namun hal ini bukanlah substansi kalau dilihat dari persptektif virtual etnografi atau antropologi digital. Adapun yang sangat penting dilihat adalah bagaimana proses seseorang dikenal dalam masyarakat, yang bukan dari kasta menengah ke atas.
Banyak artis di Indonesia yang memulai dari nol, hingga mereka sekarang menjadi kaya raya. Mereka berjuang dengan segala cara dengan memaksimalkan potensi dalam diri mereka. Mereka juga membuka diri untuk melakuka proses penyesuaian ketika mendadak terkenal.
Ketika seseorang mendadak terkenal, maka publik akan menjadikan semua elemen wilayah privat individu tersebut sebagai target Kepo sosial. Semua kekepoan tersebut kemudian akan meningkat rasa empati dan simpati publik. Jika seseorang yang tidak paham simpati dan empati publik atau sosial, maka orang tersebut akan tenggelam ke dasar lagi.
Perlu waktu baginya untuk bangkit. Inilah kemudian ada acara ajang mencari bakat seorang dengan Factor X yang mereka miliki. Pasar akan menerima mereka, jika calon yang berbakat tersebut dapat diterima oleh publik. Karena itu, jika ada sikap atau karakter yang kontradiksi, maka sangat sulit siapapun yang berbakat untuk menjadi pusat perhatian publik dalam durasi yang lama.
Kemunculan anak-anak SCBD sekarang perlu mendapatkan sentuhan supaya tidak hanya masyarakat melihat mereka dari aspek yang menarik untuk dibisniskan, melainkan juga perlu pembinaan secara massif, jika sudang masuk ke ruang publik, seperti mendadak artis.
Apa yang unik dari mereka bukan ditekan atau dicemoohkan. Sebab usia dan kesiapan mental mereka untuk menjadik artis, perlu latihan selama bertahun-tahun. Mereka yang dulunya terkenal, tiba-tiba meredup dan menjadi tidak sejahtera secara ekonomi, perlu menjadi pelajaran bagi anak-anak muda yang mendadak artis ini.
Inilah salah satu kepentingan kajian virtual etnografi di dalam memberikan masukan kepada siapapun yang hendak memahami fenomena sosial di dunia maya dan dunia nyata. Tulisan ini adalah salah satu upaya untuk menjadikan Citayam Fashion Week sebagai pisau bedah dalam kajian antropologi digital, yang berusaha memahami dampak dari kebudayan masyarakat digital di Indonesia.
 Â