Pendahuluan
Setelah menulis tentang analisa tentang keadaan terkini eskalasi konflik antara Israel dan Iran, dalam esai ini, saya mencoba memahami bagaimana strategi Amerika Serikat dan Sekutunya dalam “menjaga” Israel di Asia Barat. Sebagai “globocop”, Amerika Serikat benar-benar ingin tidak ada peluang bagi Palestina untuk menjadi anggota tetap PBB. Dalam rapat terakhir untuk menghasilkan Resolusi PBB untuk pengakuan Palestina, Amerika Serikat melakukan “hak veto” untuk peluang bagi Palestina menjadi bagian penting di PBB.
Sikap pemerintah Amerika Serikat yang ingin melakukan “baby sitting” untuk Israel tidak akan pernah berhenti. Dalam pertemuan saya dengan Pj. Duta Besar Amerika Serikat Michael F. Kleine baru-baru ini, di Banda Aceh memang mengatakan bahwa salah satu alasan penting mengapa Amerika Serikat benar-benar dekat dengan Israel adalah karena hanya Amerikalah yang bisa berbicara langsung dengan pihak Israel, dalam keadaan apapun situasinya. Dengan kata lain, negara yang mendapatkan akses ke pemerintahan Israel, dalam situasi apapun, adalah Amerika Serikat.
Atas alasan di atas, maka mau tidak mau, Amerika Serikat harus benar-benar mengawal semua kepentingan Israel di level internasional. Kendati tekanan bertubi-tubi atas genosida di Gaza, pihak Amerika Serikat tetap melakukan proses “baby sitting” dengan Israel. Keadaan ini tentu membuka tabir bahwa dalam konteks geo-politik, Palestina tidak memiliki masa depan yang cukup baik dalam lintasan sejarah PBB, dimana semua hal yang berkaitan dengan pengakuan suatu negara, merupakan kemerdekaan sejati, untuk dapat duduk secara bersama-sama menyelesaikan masalah yang didera oleh negara tersebut, khususnya di Gaza.
Dalam esai ini, saya ingin menjawab bagaimana cara memahami sikap Amerika Serikat di Asia Barat di dalam menjaga kestabilan di kawasan tersebut, kemudian dapat membuka babak baru konflik di Timur Tengah, yang dipicu oleh eskalasi konflik antara Israel dan Iran.
Aliansi Amerika dan Sekutunya
Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat telah menyusun program jangka Panjang demi kestabilan global, dimana dia dan sekutunya yang akan menjadi “pemain utama.” Tesis ini tidak akan pernah dipatahkan. Bahkan pengamat intelijen dan keamanan global, George Friedman dalam dua bukunya, The Next 100 Years: A Forecast for the 21 Century dan The Next Decade: Empire and Republic in a Changing World, telah memaparkan bagaimana peran Amerika Serikat di masa yang akang datang. Di situ muncul satu istilah yaitu American Chaliphate (Khilafah Amerika). Salah satu argumen Friedman adalah:
The United States is only at the beginning of its power. The Twenty-first century will be the American Century.
Karena itu, ketika ada negara-negara yang hendak menyaingin Amerika Serikat, baik sekarang dan di masa yang akan datang, akan mengalami tekanan demi tekanan, untuk tidak menyaingi kedigdayaan Amerika.
Negara-negara yang hendak berhadapan langsung dengan Amerika Serikat dan Sekutunya adalah Russia dan Cina. Russia yang memiliki sejarah panjang sebagai Uni Sovyet yang runtuh pada tahun 1989, telah menjadi rival abadi Amerika Serikat. Saat ini, konflik kedua negara ini dalam kategori shadow war (perang bayangan) yang terkadang menggunakan model Proxy War (Perang Proksi). Russia memiliki hubungan yang cukup baik dengan Cina. Negara terakhir ini telah melebarkan sayap kekuatan globalnya melalui kekuatan kebijakan ekonomi, dimana mereka lebih tertarik melakukan investasi sebagai pendudukan suatu negara, ketimbang melakukan invansi militer, seperti pengalaman Amerika Serikat.
Di tengah-tengah kedua negara di atas, maka muncullah Korea Utara di Semenanjung Korea, yang menjadi musuh abadi daripada Korea Selatan dan dalam kadar tertentu juga Jepang. Setelah negara-negara tersebut, muncul pula Iran yang merupakan rival abadi Israel, yang tidak akan pernah menundukkan diri mereka pada kekuatan global Amerika Serikat dan Sekutunya. Adapun setelah negara-negara tersebut, maka muncul negara-negara di Amerika Latin yang masih bermimpi tentang Sosialisme sebagai ideologi bangsa mereka.
Pemetaan di atas menjadi satu barisan utama untuk menjadi rival secara geopolitik dan geo-ekonomi bagi Amerika Serikat. Di sini, Amerika Serikat membangun hubungan diplomatik yang cukup strategis dengan negara-negara tetangga yang menjadi musuh daripada negara-negara di atas. Di Eropa Timur, Amerika Serikat bersama NATO berusaha untuk mengunci setiap arah kebijakan Putin yang akan semakin memperlihatkan negara ini menjadi pemain utama di benua tersebut. Di Asia Selatan, India menjadi salah satu negara yang selalu berusaha menjadi lebih Amerika daripada orang Amerika itu sendiri. Di Timur Tengah, kecuali Iran dan Yaman, dalam kategori tertentu Turki, maka semua negara tersebut sudah berada dalam “pelukan” Amerika, yang dikawal penuh kepentingan jangka panjangnya oleh pemerintah Israel. Adapun di Asia Timur, Korea Selatan dan Jepang menjadi mitra strategis Amerika Serikat, yang benar-benar ingin menjaga kestabilan di kawasan tersebut, sambil melirik setiap usaha Cina untuk mengganyang Taiwan dan dalam kategori tertentu, Hong Kong.
Di Asia Tenggara, Singapura dan Australia yang menjadi bagian dari “five eyes” mengawal kawasan ini daripada pengaruh Cina di Laut Cina Selatan dan dalam kategori tertentu, memonitor setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Sebab negara terakhir ini adalah negara yang paling banyak penduduk Muslim di dunia.
Jadi, dari pemetaan singkat di atas, tidak perlu diragukan bahwa Palestina menjadi tabung emosi umat Islam yang disiram apinya oleh Israel, dimana Amerika Serikat memberikan amunisi untuk membakarnya sampai habis, suatu saat.
Dari Proxy War ke Perang Nuklir?
Ketika Perang Dingin dilakukan antara Amerika Serikat, dunia baru saja mengakhiri Perang Dunia ke-2. Saat itu, Proxy War menjadi tren untuk menaklukan suatu negara. Tidak perlu menghancurkan negara dengan mengirimkan pasukan, melainkan cukup dengan mendanai dan melatih beberapa kekuatan sipil yang dipersenjatai, kemudian mereka menjalankan kebijakan negara yang menjadi sponsor utamanya. Tren ini terus berlanjut sampai hari ini, tidak terkecuali apa yang sedang terjadi di Gaza.
Kemunculan Arab-Afghan dulu untuk kepentingan Amerika Serikat, demi mengganyang Uni Sovyet di Afghanistan. Untuk negara-negara besar yang menjadi musuh utama, maka PBB adalah jalur utama untuk melakukan pelemahan secara ekonomi dan pengaruh global suatu negara. Karena itu, ke atas dilakukan sanksi, ke bawah dilakukan Proxy War. Disadari atau tidak, hampir semua negara yang menjadi musuh abadi Amerika Serikat, mendapatkan sanksi ekonomi dari PBB ataupun dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Mereka harus bahu membahu membangun perekonomiannya di balik layar. Pemutusan hubungan diplomatik terkadang dilakukan, untuk memperindah plot drama, demi pemulusan sanksi ekonomi tersebut. Saling curi informasi adalah ibarat film Tom and Jerry. Semua harus berjalan, seolah-olah besok akan segera terjadi perang besar.
Saat ini, untuk menghancurkan negara-negara yang menjadi musuh Israel digunakan istilah Proxy War yang diduga dimainkan oleh Iran. Dalam hal ini, kehadiran kekuatan Ikhwanul Muslim di Timur Tengah, lebih berbahaya ketimbang kehadiran budaya kontemporer di Jazirah Arab. Di negara Arab, Ikhwanul Muslim menjadi momok yang menakutnya. Bagi non-Arab, kehadiran gerakan-gerakan Islam dipandang sebagai bagian dari jaringan teroris. Iran lebih dibaca bukan sebagai negara Muslim, tetapi dipersepsikan sebagai Negara Syi’ah, dimana negara-negara non-Iran dipandang sebagai Negara Sunni. Begitulah seterusnya, untuk melakukan “Politik Belah Bambu” di Timur Tengah dan Asia Barat.
Akan tetapi ketika Proxy War tidak lagi efektif, maka salah satu pilihan yang sangat mungkin dilakukan adalah Perang Nuklir. Hingga saat ini, beberapa negara di dunia memang memiliki persenjataan Nuklir, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina, Israel, Korea Utara dan beberapa negara lainnya yang diduga telah membangun persenjataan nuklir, seperti Russia dan Iran. Kalau pun belum terjadi perang terbuka antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, salah satu alasannya mungkin karena negara yang terakhir ini memiliki senjata nuklir yang diduga kuat, jika dilepaskan, akan sampai ke negara bagian Amerika Serikat. Kepercayaan diri Israel di dalam mengancam setiap negara yang tidak mengikuti kebijakan nasionalnya adalah kepemilikan Senjata Nuklir oleh negara tersebut, dimana jika sewaktu-waktu mereka terdesak, dapat diluncurkan ke segala arah yang mengancam keberadaan mereka di Asia Barat atau Timur Tengah.
Karena itu, jika perang Nuklir ini benar-benar menjadi pilihan terakhir dari setiap keinginan perang yang tertunda, maka tidak menutup kemungkinan beberapa belahan dunia akan mengalami kegoncangan global. Amerika Serikat selalu menggunakan “big stick” daripada “carrot” terhadap negara-negara yang mengancamnya di Timur Tengah. Akan tetapi untuk kawasan Laut Cina Selatan akan juga melakukan hal yang sama jika Cina mulai melakukan agresinya di Taiwan. Russia akan melakukan hal yang sama, jika NATO mengoroyok mereka secara bersama-sama. Maka peta dunia akan berubah total, jika perang nuklir benar-benar tersebut.
Apa Hubungannya dengan Israel?
Negara ini menjadi kunci perdamaian abadi di Asia Barat. Sebagai negara yang paling merasakan terancam selama 24 jam 7 hari seminggu, maka Israel akan terus memburu dimanapun keberadaan rakyat Palestina, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, Mossad sampai hari ini masih memburu diaspora Palestina, HAMAS, Ikhwanul Muslim, dan berbagai jaringan kekuatan ideologi di seluruh penjuru bumi. Selama mereka belum berhasil membumi hanguskan keturunan warga Palestina, baik di dalam negara maupun di luar negara Palestina, maka sampai kapan pun, Israel akan siaga.
Jika Israel siaga, maka Amerika dan Sekutunya akan lebih siaga lagi. Sebab kalau Israel terganggu di Asia Barat, maka Amerika Serikat dan Sekutunya tidak akan tinggal diam. Demikian pula, musuh abadi Amerika Serikat, seperti Russia, akan terus siaga, sepanjang Amerika tidak bisa duduk diam di Washington DC. Karena itu, perdamaian abadi di Asia Barat sulit dicapai, bukan dikarenakan jumlah penculikan yang dilakukan oleh HAMAS atau IDF, melainkan ada kesengajaan untuk menjadikan Israel lebih brutal di rantau kawasan tersebut. Hal ini juga dipicu oleh kesengajaan Amerika Serikat untuk tidak mengakui Palestina menjadi Negara yang merdeka di tanah mereka sendiri.