1.
Ada satu lelucon di kalangan orang Aceh yang jenuh melihat keadaan Aceh yang tidak pernah menjadi daerah yang maju. Ada yang mengatakan meskipun Aceh ini dipimpin oleh seorang pemimpin sekaliber Tun Mahathir Mohammad atau Ley Kuan Yew, tetap Aceh tidak mencapai kemajuan. Hal ini membuktikan bahwa untuk mencapai kemajuan di Aceh, siapapun sosok yang menjadi orang nomor satu, tetap akan berada di tempat. Imajinasi orang Aceh adalah melihat negara tetangga, bukan provinsi tetangga, terlebih lagi melihat kemajuan di Pulau Jawa. Kalau orang Aceh ditanyakan mana negara yang ingin dicontoh, jawabannya tentu bukan Indonesia, melainkan Malaysia, Singapura, dan Brunei, untuk level Asia Tenggara.
Orang Aceh tidak ingin melihat kemajuan di Pulau Jawa sebagai bahan imajinasi untuk berpikir bahwa, kalau ingin maju, maka tirulah Indonesia dalam membangun Pulau Jawa. Tentu sudah banyak kajian teoritik mengenai bagaimana Pulau Jawa dibangun dalam sejarah Indonesia. Di situ ada imajinasi kultural, bagaimana tetap menjadi Jawa, walaupun sudah menjadi Indonesia. Proses becoming Indonesian melalui being a Javanese tentu menarik untuk dikupas. Misalnya, bagaimana proses kemenjadian Malaysia, ketika masih dalam keadaan being Malay di negara tetangga. Sehebat apapun orang Melayu di Malaysia dan Brunei Darussalam, tetap mereka akan menghambakan diri kepada Paduka Raja atau Sultan mereka. Sehebat apapun orang Jawa di negeri Mataram, tetap akan menunduk pada sosok Sultan mereka di Keraton Yogya.
Sehebat apapun orang Aceh, lantas mereka akan tunduk pada siapa. Orang Aceh tidak akan tunduk pada siapapun, termasuk pada pemimpin mereka sendiri. Dalam satu abad terakhir, orang Aceh dikondisikan secara kebudayaan tunduk pada ‘ulama. Namun, dewasa ini, proses pencarian dan pencirian ‘ulama yang perlu dipatuhi pun, semakin lebar ruang dan jaraknya. Ada proses yang membuat semua orang tunduk pada kekuatan finansial, dimana kekuata materi seseorang, akan sangat menentukan, ketika dia mampu menundukkan keadaan. Akan tetapi, kekuatan materi tersebut tidak membuat dia tertunduk pada dirinya sendiri. Akibatnya, semakin kuasa akan materi di atas segala-galanya, maka seseorang itu, tidak mampu menundukkan dirinya sendiri.
Semiskin apapun posisi orang Jawa, mereka masih menganggap bahwa takdir kemiskinan ada pada jalan kehidupan seseorang melalui pola lelaku batin melalui sistem Kosmologi Jawa (Javanese Cosmology). Garis takdir kehidupan orang Aceh sangat ditentukan tingkat keyakinannya pada Penguasa Alam Semesta. Akan tetapi, karena dia tidak mampu menundukkan dirinya sendiri, karena kuasa materi, atas alam pikirannya, maka keyakinannya menjadi begitu pseudo atau keterpura-puraan (pretense). Karena itu, tidak ada hubungan sosial antara nasib seseorang di Aceh dengan kondisi cara berpikir mereka dalam menetapkan kemana arah sebenarnya keyakinannya dituju secara substantif.
Bab ini berusaha untuk melihat kondisi di atas dalam kontek masyarakat sipil di Aceh. Awal tahun 2000-an, muncul wacana masyarakat sipil (civil society) di Indonesia sebagai wacana tandingan terhadap Masyarakat Madani (Madani Society). Kemandirian masyarakat sipil menjadi suatu keharusan dalam satu negara. Melalui kemandirian tersebut, rakyat akan berada sejajar di hadapan negara dan memiliki nilai tawar, untuk menjadi bagian dari sejarah negara-bangsa tersebut. Dalam konteks tersebut, masyarakat sipil di Aceh pun menjadi instrumen penting dalam melihat dari konteks negara-bangsa. Di sinilah peran mereka dituntut, khususnya dalam menjadi bagian dari penggerak roda pembangunan di daerah ini.
2.
Jika hendak memahami konteks CSO (Civil Society Organization) di Aceh, maka proses pembabakannya harus dilihat secara makro dan mikro. Secara makro, dapat dinyatakan bahwa Aceh menjadi bagian dari sejarah konflik selama 30 tahun lebih. Bahkan sebelum tahun 1976, konflik Aceh juga telah dimulai sejak 1953, antara rakyat Aceh dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, kemandirian masyarakat sipil di Aceh memang telah menjadi wacana, tidak hanya pada level nasional maupun internasional. Keterlibatan CSO di Aceh dalam rangka memberikan advokasi terhadap kepentingan masyarakat Aceh tidak dapat dielakkan. Adapun isu yang disentuh mulai dari perdamaian dan konflik hingga ke persoalan gender dan keluarga.
Untuk itu kerlibatan CSO di Aceh telah memberikan warna dalam sejarah provinsi ini. Misalnya, era 1970-an akhir, para peneliti diberikan bekal ilmu-ilmu sosial untuk mendalami studi pembangunan di Indonesia. Mereka diundang oleh sala satu NGO asing untuk menemukan cara yang otentik di dalam memahami dan menggunakan ilmu sosial dalam penelitian mereka. Beberapa alumni para Program Penelitian Ilmu Sosial kemudian menjadi beberapa peneliti terkemuka di Indonesia. Hasil-hasil riset mereka kemudian diterbitkan oleh penerbit Indonesia dan beberapa monograf dari penelitian mereka masih dapat dibaca di perpustakaan ICAIOS di Darussalam, Banda Aceh.
Ketika itu, tahun 1975, alm. Prof. Dr. Ibrahim Alfian menjadi Direktur untuk Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial yang didanai oleh the Ford Foundation.[1] Saat itu, cakupan keilmuan ilmu sosial dan humaniora, melalui jasa baik Clifford Geertz sebagai salah seorang antropolog terkemuka, bersama para peneliti lainnya dari luar negeri (Lance Castles). Beberapa alumninya, seperti Mukhlis PaEni (mantan direktur Arsip Nasional), Nani Tuloli (rektor IKIP Gorontalo), Amir Lutfi (rektor Universitas Negeri Islam Pekanbaru), P.J. Suwarno (rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta), Hamid Abdullah (Guru Besar Universitas Diponegoro), Syarif Ibrahim (Guru Besar di Pontianak), dan Durtje Durasit (Guru Besar di Banjarmasin).[2] Jadi, secara sosio-intelektual, peran CSO dalam membina pemahaman terhadap dinamika rakyat Aceh tidak dapat dikesampingkan. Sebab, dari tangan-tangan para peneliti tersebut, akhirnya para pembaca dari seluruh Indonesia, dapat memahami bagaimana situasi Aceh pada masa awal-awal Orde Baru.[3]
Saya sempat berjumpa dengan para alumni pelatihan di atas, dimana mereka kemudian menceritakan Aceh era 1980-an. Bahkan Prof. Taufik Abdullah menceritakan bagaimana dinamika Aceh saat dibawah kepemimpinan Suharto. Cerita penetrasi Golkar dalam tubuh pemerintah dan rakyat Aceh. Narasi tentang bagaimana ulama digunakan untuk kepentingan pemerintah Indonesia. Prof. Taufik Abdullah menceritakan bahwa dia diminta untuk menulis bagaimana karakter orang Aceh. Sehingga Prof. Taufik keliling Aceh untuk melakukan berbagai observasi dan wawancara, hingga diterbitkan dalam buku Islam dan Masyarakat.[4] Dalam pada itu, Prof. Taufik menceritakan tentang program Ford Foundation untuk melatih para peneliti sosial dan humaniora, yang berasal dari seluruh Indonesia, tidak terkecuali dari Aceh.
Jadi, upaya untuk memahami masyarakat Aceh terus dilakukan oleh CSO, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun demikian, ketika konflik di Aceh ditabuh pada saat operasi militer 1990-an akhir hingga 1998, keadaan Aceh menjadi tertutup bagi dunia internasional. Hanya mereka yang memiliki akses pada militer, yang dapat masuk ke Aceh. Kalau pun ada warga asing yang masuk ke Aceh, biasanya mereka datang dari berbagai kantor kedutaan asing. Upaya untuk tidak menginternasionalisasi persoalan Aceh mengakibatkan daerah ini begitu tertutup. Sayup-sayup CSO asing di luar negeri pun berusaha untuk memublikasikan berbagai peristiwa tragedi pembantaian rakyat Aceh saat Operasi Jaring Merah dilaksanakan.
Saya masih menyimpan beberapa laporan kekerasan tersebut, termasuk dari Amnesti Interasional, Lembaga Hak Asasi Internasional, dan lembaga-lembaga lokal lainnya, yang sempat mendokumentasikan berbagai tindak pelanggaran HAM di Aceh. Ketika Aceh dicabut status DOM oleh pemerintah Habibie, maka Aceh secara perlahan-lahan terbuka bagi dunia internasional. Berbagai lembaga sipil pun bermunculan. Tahun 1998 adalah saat dimana mahasiswa menjadi bintang lapangan. Berbagai forum dibentuk, kongres dilaksanakan, keputusan ditetapkan. Semua masyarakat sipil bergerak, hingga memunculkan persoalan referendum, dimana telah dilaksanakan di Timor Leste tahun 1999.
Ketika saya pulang ke Aceh tahun 1999 untuk liburan, saya sempat mendengar kemunculan KMPAN (Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara) Serantau. Melalui jejaring mahasiswa dan pemuda Aceh saat itu, keinginan Aceh untuk melakukan proses referendum semakin kuat. Alhasil, SIRA pun terbentuk, kendati kemudian hasil pertemuaan jutaan masyarakat Aceh di hadapan Masjid Raya Baiturrahman tidak berhasil mengantarkan Aceh seperti Timor Leste. Saat itu, saya mendapatkan kabar bahwa agen asing yang berada di Banda Aceh sedang berkoordinasi dengan beberapa kekuatan militer di Samudera Hindia, supaya ketika pekikan merdeka terealisasi, kekuatan militer asing dapat dihadirkan di Aceh. Rumor ini masih perlu dicek kembali, sebab pihak internasional, sejak tahun 1990-an akhir, selalu melakukan berbagai advokasi terhadap perjuangan rakyat Aceh.
Namun yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah kekuatan masyarakat sipil di Aceh telah membuat pemerintah gusar, hingga kemudian dilakukan berbagai operasi militer, baik sedang maupun keras, hingga 15 Agustus 2005. Upaya pemerintah untuk menekan GAM pun dilakukan. Setiap lobi mereka di rapat-rapat internasional ditentang habis-habisan oleh pemerintah Indonesia melalui jalur diplomatik. Kemudian, upaya untuk menarik hati para pejuang GAM pun dilakukan di berbagai wilayah operasi TNA. Masyarakat sipil pun mulai bangkit melakukan berbagai upaya, misalnya menekan pemerintah Indonesia untuk mengadili pelanggar HAM di Aceh, melakukan proses untuk memberikan hak yang istimewa bagi rakya Aceh, dan melibatkan masyarakat sipil dalam setiap keputusan strategis.
Kondisi ini memperlihatkan tugas ganda CSO di Aceh menjadi begitu kuat. Donor asing melalui berbagai program dari kedutaan besar di Jakarta mengalirkan dana ke Aceh. Berbagai isu sipil mulai diadvokasi. Orang Aceh mulai bicara tentang hak-hak perempuan. Di berbagai sudut kantor CSO, persoalan gender menjadi agenda utama. Proses untuk mempertanyakan implementasi Syariat Islam tidak ketinggalan untuk dibahas. Strategi pembangunan Aceh pun menjadi agenda yang tidak dapat dikesampingkan. Pola integrasi mantan kombatan pun tidak diabaikan. Operasi intelijen pun tidak hanya lagi untuk menyasar tokoh-tokoh kombatan, melainkan juga tokoh-tokoh CSO yang dekat dengan pihak asing.
Di tingkat kabupaten, operasi militer dijalankan. Berbagai putera Aceh pun kemudian menjadi syuhada. Di Banda Aceh pola internasionalisasi isu Aceh pun digiatkan. Berbagai tokoh CSO mulai terbang ke luar negeri, menghadiri berbagai konferensi untuk melakukan testimoni. Dalam kurun waktu dari 1998 hingga 2004, CSO di Aceh benar-benar menjadi kekuatan baru yang sulit dijumpai di daerah manapun di Indonesia. Dapat dibayangkan, para pemuda Aceh sudah mulai diundang oleh lembaga-lembaga asing untuk dilakukan capacity building. Bagaimana menulis proposal. Bagaimana mengeksekusikan program. Bagaimana membuat laporan kegiatan. Mereka sudah sibuk ke kedutaan besar, untuk mengurus visa, supaya bisa terbang ke berbagai negara, dalam rangkan pendampingan terhadap isu-isu di Aceh paska 1998.
Karena itu, beberapa tokoh CSO pun menjadi ikon baru dalam pergerakan rakyat Aceh. Saya tidak ingin menyebutkan nama-nama mereka dalam tulisan ini. Tetapi peran mereka harus dipandang sebagai legasi perjuangan bagi Aceh sepanjang masa. Tokoh-tokoh pejuang kepentingan rakyat Aceh ini pun kemudian menghadapi masalah baru di Aceh, yaitu bagaimana menatap Aceh paska-Tsunami dan MoU-Helsinki. Beberapa diantara mereka yang menjadi elit baru CSO di Aceh pun berlomba-lomba mendirikan CSO melalui jejaringan mereka di level internasional. Bahkan CSO dari pulau Jawa mulai mendekati Aceh. Berbagai forum didirikan, supaya kegiatan rebab rekon dapat dilaksanakan paska dua kejadia besar dalam sejarah Aceh.
Paling tidak, ada lima gerbong kereta perjuangan CSO Aceh paska-2005. Pertama, konsisten untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh, hingga kemudian isu kekerasan di Aceh mendapatkan situasi “dimaafkan, tetapi tidak akan pernah dilupakan.” Kedua, mereka yang tertarik untuk melakukan berbagai proses pendampingan terhadap masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi. Ketiga, terlibat langsung dalam pembangunan fisik untuk keberlanjutan kehidupan rakyat Aceh yang tertimpa musibah Tsunami. Keempat, mereka yang berkutat pada persoalan riset dan kebijakan untuk menghasilkan berbagai rumusan, yang kemudian menjadi pertimbangan bagi para stakeholders. Kelima, terus memperhadapkan kondisi Aceh dengan persoalan konflik dan perdamaian di Aceh.
Kelima kategori di atas, mungkin terlalu umum untuk didetailkan, tetapi paska-2005 hingga 2009, ini merupakan era keemasan bagi dunia CSO di Aceh. Ketika saya pulang tahun 2006 melakukan penelitian doktoral, saya sempat kaget, karena anak muda Aceh mulai bergaji dari sepuluh hingga ratusan juta rupiah. Mereka benar-benar menjadi elit baru di Aceh. Proposal, kegiatan, dan publikasi kegiatan CSO mulai menjadi budaya baru CSO di Aceh. Mereka kemudian ada yang bekerja dalam berbagai sektor dalam rangka rehab rekon di Aceh.
Di sudut kantor, diskusi pun merebak. Pola pelatihan dengan spidol dan kertas yang ditempelkan di dinding pun menjadi pemandangan yang biasa. Tatapan kecurigaan, jika ditanyakan asal dana yang masuk ke Aceh pun tidak dapat dikesampingkan. Saling mengunci jaringan asing dalam rangka membantu Aceh pun tidak terelakkan. Karena situasi isu di Aceh yang sangat cocok bagi CSO, maka jutaan dollar uang mengalir ke Aceh paska-Tsunami dan MoU-Helsinki. Kondisi ini menciptakan situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para tokoh CSO, khususnya ketika 2009, para donatur asing mulai meninggalkan Aceh.
Beberapa CSO pun mulai rontok, kecuali mereka yang piawai di dalam mempertahkan eksistensi dan jati diri idealisme mereka. Sejak 2010-an hingga sekarang, jumlah CSO yang bertahan dari paska rehab-rekon hanya tinggal beberapa saja. Mereka yang ada sempat membeli tanah dan mendirikan gedung sendiri. Adapun mereka yang hanya menyewa, karena tidak membayangkan akan kepindahan kebijakan dari donatur, maka kehadiran mereka menjadi lenyap adanya. Tidak sedikit pula yang hilang ditelan bumi, karena tidak ada lagi funding yang membiayai kegiatan mereka.
Memori era keemasan 2005 hingga 2009 saat penggiat CSO menjadi elit baru di Aceh. Setelah itu, ada yang diantara mereka banting setir menjadi “orang biasa”, sambil mencari peluang untuk terlibat dalam berbagai kapasitas, mulai dari “staf ahli” menjadi “ahli staf” di lingkaran pemerintahan Aceh. Tidak sedikit pula, mengadu nasib di partai politik, karena bisa menduduki gedung parlimen, baik di Banda Aceh sebagai anggota DPRA maupun di tingkat dua di provinsi Aceh. Ada pula yang menjadi kawan dekat dengan berbagai apparat terkait sebagai “agen lapangan”, baik sebagai pengumpul bahan keterangan maupun sebagai “aktor” untuk berbagai Gerakan massa. Ada pula yang mengadu nasib di kampus, baik melalui jalur PNS maupun sebagai Dosen Tetap Non-PNS. Mereka terdistribusi di berbagai kampus negeri di Aceh.
Di atas itu semua, masih ada juga yang konsisten dalam Gerakan sipil melalui jalur donatur, baik dari pemerintah maupun dari lembaga asing, karena hubungan pribadi atau karena kesuksesan dalam memenangi proposal. Biasanya, diskusi di hotel-hotel tertentu di Banda Aceh. Ada pula di sudut-sudut warung kopi di kota ini. Tidak sedikit pula, yang berdiskusi di kota Medan atau bahkan ke Jakarta. Geliat mereka memang tidak begitu kentara seperti era sebelumnya. Biasanya isi dan isu yang didiskusikan adalah melakukan proses kritik konstruktif terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Isu syariat Islam menjadi sasaran empuk. Memori kekerasan untuk menegakkan HAM juga tidak terlupakan. Persoalan gender dan anak menjadi diskusi yang tidak kalah menarik. Masalah keluarga pun tidak tertinggal dibicarakan. Adapun yang paling hangat adalah isu lingkungan. Belakangan muncul persoalan Rohingya.
Adapun para tokoh CSO Aceh memang dikenal sangat progresif. Jejaring mereka tidak hanya nasional, tetapi juga internasional. Bahasa Inggris menjadi hal yang biasa dalam berkomunikasi. Dalam berargumen selalu memiliki data yang sangat aktual dan faktual. Media komunikasi online menjadi tempat pembelajaran beradu gagasan. Hampir rata-rata mereka memperoleh gelar master hingga doktoral. Publikasi mereka sudah menginternasional. Beberapa di antara mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk pengembangan kapasitas era 2005-2009, akhir terlambar secara karir, namun tetap memiliki pengaruh di kalangan para CSO di Aceh. Karena itu, dunia CSO terus berkiprah di Aceh, bahkan hinggal di kancah global. Beberapa di antara mereka ada yang sudah mencatat namanya di level global.
Sampai di sini ingin dikatakan bahwa CSO di Aceh mampu keluar dari kemelut karena minimnya funding, tetapi tetap melesat dalam rangka merespon berbagai persoalan kekinian di Aceh. Karena itu, keberadaan mereka tetap dirasakan, kendati bukan lagi sebagai “elit” secara pendapatan, sebagaimana pada era rehab rekon Aceh. Jiwa keaktifisan pun tidak pernah padam, kendati terkadang isu yang diperjuangkan tidak pernah bergeser pada topik-topik yang kekinian. Sejak muncul media online dan media sosial, gagasan mereka berterbangan di alam maya. Idealisme mereka masih cukup terasa, walaupun akar gagasan teoritiknya tidak pernah bergeser, yaitu pola-pola untuk menantang kemapanan dan kritik agresif terhadap persoalan dampak dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai orang Aceh yang sudah berkiprah di Aceh selama 15 tahun terakhir, mungkin saya memiliki beberapa catatan ujung dari strategi membangun kembali kekuatan masyarakat sipil di provinsi ini. Pertama, imajinasi Aceh adalah negeri yang memiliki sekian persoalan, dari era konflik dan paska-Tsunami menjadi batu loncatan bagi penguatan masyarakat sipil di Aceh. Kedua, arah dan orientasi pembangunan Aceh memiliki harapan yang cukup baik, khususnya ketika CSO mampu hadir mendorong upaya tersebut secara massif. Ketiga, ketidakhadiran lembaga asing secara langsung di Aceh saat ini, telah menciptakan kegelisahan sosial di kalangan CSO. Keempat, proses regenerasi tokoh-tokoh sipil di Aceh agak sedikit tersendat, ketika beberapa tokoh utama CSO sudah kehilangan kader-kader terbaik mereka.
Narasi di atas menyiratkan bahwa dunia CSO tidak dapat dilepaskan dalam konteks sejarah Aceh. Untuk itu, peran mereka harus dilebarkan pada persoalan-persoalan yang sedang dihadapi rakya Aceh saat ini. Persoalan kemiskinan menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsep SDG (Sustainable Development Goals) perlu menjadi hal yang tidak dapat diabaikan dalam memikirkan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa yang akan datang. Persoalan pelaksanaan Syariat Islam juga tidak harus dipahami sebagai Jinayat semata tampaknya juga menjadi hal penting bagi agenda masa depan Aceh. Hal-hal strategis seperti geopolitik dan geoekonomi Aceh juga perlu diangkat dalam narasi perjuangan kalangan CSO di negeri ini.
3.
Akhirnya, kajian singkat ini hanyalah sebagai pengingat kembali bagi kita untuk melihat arah perjuangan CSO di Aceh pada masa yang akan datang. Semua hal ini akan terjadi, manakala sinergi rakyat dan siapapun yang memperjuangkan nasib mereka bersatu padu. Hampir tiga dekade, CSO hadir dalam berbagai persoalan Aceh dan mereka tetap berada di samping rakyat. Paling tidak, bab ini telah membuktikan bahwa peran mereka tidak pernah padam. Kendati CSO sendiri harus bertungkus lumus dalam menghadap persoalan diri mereka sendiri.
[1]Ford Foundation, ed., Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation, 1953-2003 (Jakarta: Ford Foundation, 2003). Baca juga M. Masyhur Amin, Kedudukan Kelompok Elite Aceh Dalam Perspektif Sejarah (Banda Aceh: Unsyiah, 1981).
[2] Ford Foundation, Celebrating Indonesia, 113.
[3] Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (UGM PRESS, 2024).
[4] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987).