Mengapa Pejabat dan Keluarga Pejabat Terjebak dalam Budaya Flexing (Pamer Harta)?

Prawacana
Esai ini tertarik untuk mengulas mengapa para pejabat dan keluarga pejabat terjebak dalam budaya flexing (pamer harta). Hal ini sebenarnya sesuatu yang lumrah terjadi, namun ketika mereka terobsesi untuk menampakkan kesuksesan mereka di alam maya, tampaknya perilaku ini perlu dipahami sebagai bagian dari penampakkan status dan posisi diri dalam kehidupan sosial budaya.
Dalam hal ini, saya ingin memberikan 4 hal mengapa mereka tertarik untuk melakukan flexing.
Too Late to Be Rich
Istilah di atas mengaju pada asumsi bahwa mereka yang pamer kekayaan adalah kelompok masyarakat yang terlambat menjadi orang kaya. Citra kesuksesan dalam hal materi, merupakan puncak kesuksesan bagi seseorang yang harus ditampakkan bagi keluarga dan orang di sekitarnya.
Mereka yang sudah kaya, seperti di Jerman, sangat tidak tertarik untuk memamerkan kekayaan mereka di hadapan publik. Mereka tidak nyaman dan tidak mau diketahui sebagai orang kaya. Mereka yang menjadi super rich bahkan tidak tertarik untuk memberitahukan status sosial mereka.
Fenomena orang kaya juga ditemui di Indonesia. Ada yang kaya karena keturunan. Ada yang kaya karena perusahaan. Ada yang kaya karena berperan sebagai content creator. Ada yang kaya raya karena jual beli saham. Banyak cara menjadi orang kaya saat ini.
Ketika mereka menjadi super rich, maka terpulang kepada mereka bagaimana menampakkan kekayaan mereka. Warren Buffet meski dikenal sebagai milyader di Amerika Serikat, tetap menjadi orang yang sangat ramah dan rendah hati, sambil tidak menampakkan dirinya sebagai orang kaya.
Mereka mampu membeli apapun, kendati tidak tertarik untuk melakukannya. Mereka mampu menguasai berbagai perusahaan, tentu dengan dalih invetasi yang mereka perjuangkan. Di luar negeri, mereka yang super rich juga tidak taboo untuk menampakkan keberhasilan mereka di depan publik.
Mereka yang sudah terbiasa dengan kekayaan, biasanya menampakkan mobil super mewah. Jika dulu biasanya orang menampakkan binatang kesukaan mereka yang seper mahal. Sudut rumah yang berhiaskan aksesori yang membuat orang lain ingin mencapai posisi seperti itu.
Sebagai contoh, mereka yang menjadi imigran di Amerika Serikat, tentu kesuksesan mereka di Negeri Paman Sam menjadi citra yang perlu ditunjukkan kepada publik. Karena mereka berangkat dari keluarga yang super kumuh di negara asalnya, kemudian menjadi berada dalam keadaan super kaya di negeri Amerika Serikat.
Demikian pula, fenomena orang kaya di Cina, dimana mereka yang sukses dengan berbagai filosofi bisnis orang Cina, ada yang suka memamerkan kesuksesan mereka di depan publik dan ada pula yang sebaliknya.
Mereka yang terbiasa dengan posisi super rich terkadang malah menampakkan kesederhanaan. Sebaliknya, mereka yang berjuang atas nama kepentingan keluarga dan status mereka sebelumnya yang tidak pernah diakui, memamerkan harta sebagai bukti kesuksesan adalah hal yang tidak dapat dielakkan.
Karena itu, perasaan terlambat menjadi orang kaya adalah hal utama ketika seseorang mendapatkan harta melimpah untuk dipamerkan kepada orang lain. Sebab orang lain harus mengakui bahwa dia adalah orang kaya yang harus diperlakukan sebagai orang kaya.
Self Marketing
Proses self marketing adalah hal yang lumrah dilakukan di alam maya. Semakin sukses harus ditampakkan ke alam maya, supaya netizen meyakini bahwa dia adalah orang yang super kaya. Pamer kekayaan adalah bagian dari marketing diri bagi mereka yang super kaya.
Semakin sering dia memamerka hartanya di hadapan netizen, semakin sering pula pekerjaan sampingan mereka dapatkan untuk menaikkan pundi-pundi harta mereka yang sudah melimpah ruah.
Pamer kebaikan juga menjadi hal yang sering dilakukan, terutama dengan membantu orang lain kemudian dijadikan sebagai bagian dari content di media sosial. Mereka yang suka pamer saat membantu dengan memberikan bantuan sejumlah tertentu, tetapi mereka akan mendapatkan balasan materi yang tidak terbatas, ketika sudah dijadikan sebagai oleh para content creator.
Seseorang yang memamerkan cincin yang milyaran rupiah. Mobil yang super mewah. Pengawal yang super cantik. Tentu akan menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari marketing dirinya untuk membantu kelancaraan pencitraan dirinya dalam profesi tertentu.
Dengan kata lain, orang kaya memamerkan hartanya untuk menaklukkan mental lawan bisnis atau calon yang akan bekerja sama dengannya. Proses penaklukkan mental ini kerap menjadi senjata utama dalam menjalankan bisnis, terutama ketika ada kesepakatan-kesepakatan yang mewajibkan seseorang harus tahu latarbelakang hartanya yang melimpah ruah.
Karena itu, self marketing harus melibatkan perilaku flexing. Orang menjual kualitas diri dengan menampakkan kualitas materi. Semakin besar kualitas materi yang dipunya, akan semakin besar pula kualitas pribadi ketika mereka menjalankan misi bisnisnya.
Self Recognition
Aspek terakhir ini merupakan kebiasaan dari naluri manusia normal. Pengakuan terhadap pencapaian diri. Pencapaian yang berimbas pada keluarga dan sanak familinya. Seorang pejabat yang menempati posisi baru, maka dengan sendirinya, pencapaian kesuksesannya akan dinikmati oleh keluarganya.
Bahkan pejabat yang memiliki posisi ‘basah’, cenderung akan mendapatkan pengakuan dirinya semakin ‘basah.’ Seorang pejabat yang akan bertugas ke daerah, cenderung ketika pulang, akan mendapatkan ‘pemberian’ yang ‘basah’ pula.
Bahkan, jika istri atau anaknya yang ikut mendampingi, maka mereka akan juga mendapatkan ‘berkah’ dari hasil kunjungannya ke daerah. Demikian pula, seorang yang memiliki situasi perjuangan ke pusat, mereka juga akan berusaha untuk dilirik oleh pejabat.
Disinilah kemudian pola saling menguntungkan terjadi. Konsep ‘pengakuan diri’ menjadi semacam hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Saya pernah bertanya bagaimana cara memberikan ‘balas budi’ kepada pejabat yang ke daerah.
Ada yang model tanda tangan di tempat lain, mengambil ‘berkah’ di tempat lain pula. Seni memberikan pun bermacam-macam. Berbagai cerita didapatkan bagaimana proses mengakui ‘self recognition’ dijalankan. Peran ajudan sangat memainkan peran penting di dalam menerima ‘berkah’ dari sebagai proses ‘self recogntion‘ terhadap pejabat.
Proses ‘self regocnition’ juga berlanjut pada posisi jabatan yang ditempati. Semakin tinggi posisi, semakin besar pula harga dari ‘self recognition.‘ Ada pejabat yang rela terbang ke seluruh penjuru Nusantara, karena setiap kedatangannya akan disambut oleh ‘self recognition.‘
The Absence of Social and Cultural Empathy and Sympathy
Adapun faktor terakhir adalah seorang pejabat atau super rich tidak peka dengan budaya untuk menunjukkan empati dan simpati. Inilah yang menjadi semacam penyakit sosial hari ini. Seorang yang makan di restoran dan naik mobil mewah, tentu ketika diunggah ke alam maya, akan menciptakan kecemburuan sosial.
Situasi ini terkadang tidak ditampakkan. Sebab jika dikomentari akan disebut sebagai sikap iri atau dengki. Dengan kata lain, akan terjerembab pada situasi SMS (Susah Melihat orang Senang) atau (Senang Melihat orang Susah).
Pola SMS ini sebenarnya sudah menjadi early warning system dalam pergaulan di alam maya. Sebab ketika orang mengunggah kemewahan, maka mereka yang tidak berada di situasi tersebut, cenderung akan merasakan sakit di dalam hati.
Sakit ini bukan kebencian, melainkan sakit terhadap akibat perilaku yang melihat kemewahan orang lain, yang sama sekali tidak peka dengan situasi sosial masyarakat, yang harus berjuang susah payah, demi sesuap nasi dan sebotol minuman.
Kenyataan inilah yang selalu mengundang protes dari netizen ketika ada benalu kekayaan dari tokoh publik dimunculkan yang tersandung masalah hukum. Mereka akan menguliti keluarga mereka satu persatu. Di sanalah kemudian ketidakpekaan dari simpati dan empati sang super rich menjadi semacam bomerang bagi dirinya, ketika sedang bermasalah di alam maya.
Kesimpulan
Esai ini adalah upaya kecil untuk menjawab mengapa kita tidak perlu banyak memamerkan harta kekayaan kita di alam maya. Sebab, suatu saat harta tersebut akan diusut dan dijadikan sebagai bahan untuk menyerang balik, ibaratnya seperti bomerang.