Pendahuluan
Sejak kepulangan ke provinsi Aceh mengabdi sebagai dosen di UIN Ar-Raniry, saya telah melihat sekian potret wajah aktifis dan dunia kemahasiswaan di negeri endatu ini. Tentu sebagai generasi mahasiswa 96, memaknai kata kritis tidak akan jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa aktifis Gen Z.
Kebijakan harus memihak rakyat. Adapun yang lemah harus diperjuangkan. Semua hal yang membuat rakyat menderita harus diperjuangkan oleh para mahasiswa. Alhasil, mahasiswa kemudian menjadi “bintang lapangan” dalam sejarah demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Mahasiswa Gen Z saat ini sangat boleh jadi memperjuangkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda. Semangat inilah yang harus diapresiasikan oleh civitas akademika di seluruh penjuru Nusantara.
Sebagai peneliti sosial antropologi, tentu mengurai makna berpikir kritis bagi mahasiswa yang berusia sekitar 20-an adalah hal yang penting untuk dijelaskan. Selama berada di Darussalam dan kota Banda Aceh, saya telah menyaksikan berbagai perjuangan para mahasiswa Gen Z yang amat membanggakan.
Akan tetapi, dalam esai ini saya ingin memberikan catatan penting bagi perjuangan mahasiswa Gen Z dalam memaknai cara berpikir kritis. Sehingga tulisan ini memberikan satu horizon cara berpikir yang mampu membuat sang-mahasiswa dapat bertahan hidup dengan apa yang dipikirkan dan perjuangkannya.
Kekuatan Suatu Ide dalam Berpikir Kritis
Saya tidak akan menjelaskan makna berpikir kritis, karena itu merupakan serangkaian cara berpikir yang sangat obyektif, terukur, sistematis, faktual, dan disampaikan secara tertata dalam bahasa tulisan dan lisan. Kira-kira itulah yang saya pahami, apa yang dikenal sebagai berpikir kritis.
Akan tetapi, model berpikir itu sendiri memiliki lapisan-lapisan tersendiri, sesuai dengan tingkatan seseorang dalam cara berpikir atau menyampaikan ide. Apakah seorang yang berpikir kritis memiliki masalah dengan dirinya sendiri, lingkungan, atau bahkan dengan masa lalunya, sehingga dia begitu kritis di dalam menyampaikan gagasannya.
Edward Said menulis buku Orientalisme untuk melakukan kritik terhadap berbagai gagasan Barat mengenai ketimuran. Noam Chomsky sampai hari tuanya masih terus menyampaikan kekritisannya terhadap kebijakan Amerika Serikat. John L. Esposito terus menerus menulis tentang Islam, kendati kampanye Islamofobia begitu menjamur di Amerika Utara.
Cara mereka berpikir kritis kemudian menjadi satu sistem berpikir bagi siapapun yang ingin melakukan berbagai kritisk terhadap apa yang mereka pandang itu keliru.
Apa yang saya lakukan adalah hal yang sama, yaitu melakukan kritik terhadap pemikiran ilmu-ilmu sosial Barat.Namun, Guru Saya membimbing saya untuk melakukan hal tersebut, sehingga pandangan saya terhadap ilmu sosial dan hamoniora dapat dibaca oleh para sarjana di level internasional dalam buku yang diterbitkan di Inggris.
Sampai sekarang saya masih melakukan cara berpikir kritis dari seorang filsuf yang bernama Isaiah Berlin. Saya ingin menurunkan bagaimana cara berpikir kritis yang dalam karyanya terdapat satu judul yang bernama The Power of Ideas. Dari tahun 2016 hingga menjelang akhir tahun 2024, saya baru mampu menulis sekitar 200 halaman tentang pemikiran Isaiah Berlin. Saya memandang bahwa untuk memahami cara berpikir kritis dari Isaiah Berlin memerlukan waktu lebih dari 10 tahun.
Lantas, ketika saya dulu belajar berpikir kritis, hampir semua guru-guru saya memaksa saya untuk membaca dan membaca. Ketika saya membangun argumen kritik terhadap fenomena sosial yang saya pandang keliru dan harus diperjuangkan, guru saya malah mengatakan Anda masih perlu banyak membaca buku.
Pernah, ketika saya berjumpa dengan seorang Begawan Ilmu, saat saya masih semester VII, yaitu Prof. Atho Mudzhar, sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga, di kediamannya, begitu dia menguraikan mazhab pemikiran ilmu sosial di dalam membangun gagasan-gasasan besar dalam memahami realitas sosial dan politik di Indonesia, saat pulang saya hampir muntah dan pusing, karena cara berpikir kritis saya belum ada apa-apanya di dalam membangun suatu gagasan, ketika belum memahami teori-teori besar dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Karena itu, berpikir kritis bukanlah sebatas hanya menyampaikan kritik semata. Kalau berpikir kritis hanya memaparkan fakta, namun tidak ada diskusi lanjutan dalam kemampuan berpikir prediktif dan implikatif, maka itu sama saja dengan mengalami sindrom “sangkut dengan pemikiran”, lantas keluar dari kediaman berteriak-teriak, bahwa saya harus menyampaikan gagasan kepada orang lain.
Tahun 1996, kami sebagai mahasiswa baru di Yogyakarta mendapatkan kuliah umum dari alm. Prof. Ibrahim Alfian – seorang Begawan Ilmu Sejarah. Dia menceritakan bagaimana pengalaman akademiknya di dalam membangun argumen untuk mengkritik beberapa peneliti Belanda, termasuk Snouck C. Hurgronje, terhadap pemahamannya tentang Aceh. Dia berhasil menemukan kesalahan Snouck dan kemudian dia memberitahukan kepada koleganya dan semua koleganya, yang bukan hanya dari Indonesia, mengatakan bahwa itu sebuah temuan besar dalam riset. Lalu dia pun merayakannya bersama-sama koleganya di Belanda.
Jadi berpikir kritis itulah bukanlah sesuatu yang terlarang, melainkan sangat dianjurkan dalam dunia akademik. Hemat saya, berpikir kritis itu proses, bukan hasil yang dapat diperoleh hanya dalam membaca satu atau dua buku saja, lantas berteriak bahwa kami berpikir kritis. Berpikir kritis itu adalah proses mengenal realitas, baik di dalam diri sendiri sang calon pemikir maupun dalam memahami kehidupan di sekitarnya.
Memahami Tipologi Mahasiswa Gen Z
Dalam bagian ini, saya akan menghubungkan cara berpikir kritis dengan keadaan mahasiswa Gen Z saat ini. Mereka rata-rata tidak mengalami keadaan konflik di Aceh. Kehidupan sangat techno-logistik. Apapun duka dan suka dalam kehidupan, maka curhatnya adalah ke media sosial. Karena itu, Canva menjadi bentang kartun untuk menyampaikan gagasan, supaya terdengar dan tervalidasi.
Semakin banyak yang like dan share, maka semakin besar dampak yang dirasakan dari keberadaan mereka di dunia maya dan dunia nyata. Dalam konteks ini, beda generasi, beda cara menuangkan gagasan. Saya telah menyaksikan berbagai tingkah dan polah dari mahasiswa Gen Z. Semuanya menunjukkan bahwa Generasi ini ingin dimengerti dan dipahami secara lahir dan batin.
Sejauh ini, paling tidak ada 4 kategori ketika melihat Gen Z sebagai seorang aktifis. Pertama, mereka ingin merdeka berpikir dan bertindak. Sehingga apapun yang dipandang berlawanan dengan cara pandang mereka, akan dilabrak dan dihadang. Pola penghadangannya sangat boleh jadi melalui media sosial atau media nyata.
Kalau sudah banyak yang berkiprah di media sosial, maka mereka akan cepat tervalidasi dan kemudian menjadi “tokoh baru.”Nama mereka disegani saat menjadi mahasiswa. Kemana-mana ditunggu untuk diberikan mic, sebagai penyampai berita tentang kebenaran. Kategori ini, kemudian menjadi begitu kuat karakter dan semua sistem seolah-olah akan harus takluk pada sosok ini.
Akan tetapi, dari life story mereka yang pernah kritis atau bahkan super kritis, jika mereka selesai, maka nama mereka turut terbenam dan tidak pernah muncul kembali. Kemudian rasa sakit hati, karena tervalidasi tetapi tidak bisa melakukan aktualisasi diri setelah menjadi sarjana atau “sarjana tanpa ijazah.”
Sehingga muncul di warung-warung, menceritakan kehebatannya pada saat mahasiswa, kemudian sambil mengkritik semua yang dia pandang salah dan benar. Karena umur terus lanjut dan orang mulai bosan mendengar ocehanna, maka dia pun perlahan-lahan ditinggalkan dan mengalami penyakit sosial yang amat akut. Dengan kata lain, realitas sosial melakukan proses persona-non-grata terhadap kehadirannya di dalam panggung sosial.
Kategori 2 adalah aktifis yang memang mampu menjadi teladan bagi siapapun. Kuliahnya lulus tepat waktu. Kemudian memiliki mimpi untuk mengembangkan diri, agar bertahan dalam realita sosial di kemudian hari. Di sini, mereka hanya memikirkan bagaimana bertahan hidup dalam himpitan kebutuhan ekonomi.
Sehingga semua jaringan yang telah “meng-orang-kan” dia, didekati supaya dapat membantunya keluar dari kemelut ekonomi. Aktifis model ini memang sangat sedikit, karena setelah menjadi mahasiswa, mereka “hilang” dalam pengembaraan mencari jati diri yang baru, apakah sukses dalam dunia akademis atau dunia bisnis.
Tidak sedikit kemudian yang sukses dan memiliki jaringan yang kuat. Tidak sedikit pula yang gagal, kemudian pulang kampung dengan segala kenangan pernah menjadi “bintang lapangan” saat kuliah di kampus. Beberapa koleganya sudah menempati berbagai posisi dan fungsi. Kategori ini memang banyak ditemui, walaupun sulit untuk mengatakan bahwa ini akan menjadi hal yang baik bagi generasi Z, ketika mereka nantinya lulus.
Kategori 3 adalah pejuang rakyat plus memiliki masalah etika dan adab, bahkan sopan santun yang jauh dari harapan. Bahkan di antara mereka yang benar-benar menjadi incaran lawan jenis. Mereka menjadi aktifis dengan kekuatan bangunan diri yang mempuni, tetapi memiliki aksi-aksi yang perlu diurut dada, jika diketahui.
Kategori ini sangat mudah ditemui. Ketika azan berkumandang, lalu dibiarkan saja. Ritual pribadi menjadi sesuatu yang tidak begitu penting dalam membina hubungan dengan Ilahi Rabbi. Sehingga wajah kusam dan terkadang sembrono, plus “dunia lain” yang ditekuni, seolah-olah mempertegas bahwa masa-masa perkuliahan adalah era pandai-pandai membawa diri dalam komunitas yang tidak begitu pasti.
Setelah kuliah, kategori ini pun terkadang tenggelam dan dunia yang tidak pasti. Orang tua bahkan tidak tahu bagaimana perilaku anak mereka sendiri. Tidak sedikit kemudian yang harus menyelesaikan kuliah yang bukan negeri. AKhirnya, mereka menyesal duduk di tangga sambil meratapi diri.
Kategori 4 adalah mahasiswa aktifis yang bangga diri ketika duduk dan berpose dengan abdi negeri. Fenomena dibina dengan akses dan rupiah merupakan hal yang pasti bagi kategori ini. Mereka “disiram” dan seolah-olah menjadi perpanjangan “garis komando” di dunia aksi.
Kategori ini biasa menjadi pelengkap penderita dari setiap aksi. Mereka hidup dari pundi-pundi yang diberikan setiap kegiatan di lapangan. Jenis kategori ini kemudian diperkuat dengan kepercayaan diri. Mereka mampu memaki siapapun yang dipandang keliru dan tidak jarang menjadi bintang lapangan tetap dalam setiap aksi.
Kategori terakhir ini, terkadang akan sukses saat lulus dan tidak menutup kemungkinan juga akan sengsara, karena akses dan jaringan mereka diputus secara sepihak. Duduk diam termenung di setiap pagi hari. Pasangan dan pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri jauh dari kata pasti.
Kesimpulan
Esai ini belumlah selesai dalam memberikan uraian panjang tentang relasi berpikir kritis dan keadaan mahasiswa Gen Z yang “sangkut pemikiran” dengan suatu gagasan dalam cara bepikir mereka. Paling tidak, esai ini memberikan early warning, nasehat orang tua Aceh yaitu: “but walanca walance, awai ta pu but, dudo ta pike.”