Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Community

Menyoal Etika Harga Makanan dan Minuman di Negeri Syariat?

Apakah Masuk Akal Harga Sebotol Aqua 330 ml Rp. 15000?

Table of Contents

Prawacana

Dalam artikel ini, saya tertarik ingin mengulas tentang menyoal etika harga makanan dan minuman di Negeri Syariat. Adapun yang dimaksud dengan Negeri Syariat adalah provinsi Aceh, sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang diberikan hak untuk memberlakukan hukum Islam. Dalam ini, masalah yang ingin disoroti adalah apakah masuk akal harga sebotol Aqua 330 Ml Rp. 15000.

Wacana

Baru-baru ini, saya bersama keluarga menjajal salah satu kuliner baru, western food yaitu Pizza Hut di Lamyong, kota Banda Aceh. Sengaja saya ajak anak-anak dan istri untuk sekedar mencoba bagaimana kualitas makanan pada salah satu restoran yang menawarkan Pizza. Salah satu kebiasaan saya adalah selalu singgah di tempat kuliner. Bahkan baru-baru ini, kami juga merasakan minum kopi di salah satu warung kopi yang serba klasik di Bireuen.

Begitu kami masuk suasana restoran memang begitu ramai. Saya membiarkan anak-anak memesan Pizza Hut. Setelah membolak-balik menu, kami lalu memutuskan untuk memesan Pizza yang bertajuk L1MO Baru, yaitu Pizza dengan beberapa rasa yang sepanjang 1 meter. Tujuannya kalau tidak habis dinikmati di restoran, anak-anak bisa menikmati di rumah. 

Namun begitu membuka menu minuman, saya sangat terperanjat, karena harga minuman jauh dari kata masuk akal. Tentu hal ini tidak membuat saya menggerutu, karena kalau di restoran harga minuman memang tidak perlu terkejut. Akhirnya, kami memutuskan untuk pesan Aqua. Ketika minuman ini sampai, saya terperanjat, karena yang disuguhi adalah Aqua 330 ml yang ketika saya cek harganya lumayan fantastik, yaitu Rp. 15000 sudah termasuk pajak di dalamnya. 

Ini Aqua yang paling mahal yang pernah saya minum selama beberapa tahun terakhir. Di dalam pesawat Air Asia harga air mineral untuk ukuran ini saya tidak pernah jumpai semahal di restoran Pizza Hut. Kalau pun air mineral Aqua harganya melambung, biasanya di kawasan atau area boarding yang dekat dengan pintu pesawat. Kalaupun harganya tidak masuk akal, namun yang disajikan air mineral Aqua yang 600 ml.

Also Read  Online Games and Gambling as Social Tuba

Harga satu dus Aqua 300 ml tentu tidak akan sampai Rp. 40000. Sementara harga satu dus Aqua 600 ml tentu tidak akan mendekati di angka Rp. 60000. Karena itu, jika harga minuman ini mahal di kawasan tertentu, tentu tidak akan semahal yang dilakukan oleh Pizza Hut. Rupanya keluhan terhadap mahalnya harga air mineral ini juga dikeluhkan oleh salah satu konsumen dalam salah satu reviewnya tentang pengalaman makan di restoran ini.  Karena itu, saya menganggap harga Aqua 300 ml tampaknya disetarakan dengan 1 USD.

Persoalan harga Aqua di Pizza Hut ini tentu bukan masalah dengan isi kantong atau kartu debit, melainkan adanya make sense (masuk akal), antara harga eceran dengan harga tertinggi di pasaran. Aqua di pinggir jalan yang 600 ml biasanya 3 sampai 4 ribu rupiah. Di pelataran kios minuman di Soekarno Hatta International Airport (SHIA), harga Aqua ini paling mahal 10 ribu. Kemahalan harga minum di bandara dapat dipahami, karena biaya operasional yang dikeluarkan tentu tidak murah. Bahkan, di kawasan area boarding, harga minuman mineral ini pun paling mahal 2 hingag 3 kali lipat dari harga normal. Di Bandara Don Meuang Bangkok, harga air mineral di kios  kawasan boarding sekitar 40 Bath atau 16 ribu rupiah. 

Dalam Islam, harga barang paling dianjurkan untuk mengambil untung adalah 30 % persen dari harga modal. Secara legal, tidak ada pembatasan penjual untuk mengambil untung. Namun, ukuran maqashid syariah adalah tidak menzalimi lima hal yang menjadi hak hakiki seorang manusia. Kendati di Aceh, sebagai negeri syariat, pola mengambil untung yang berlipat-lipat adalah hal yang tidak dapat dipungkiri.

Harga makanan dan minuman dapat melambung karena melihat kendaraan pengunjung. Ada juga harga makanan dan minum dimainkan pada kelipatan harga yang bertubi-tubi dan tidak masuk akal. Ada juga harga barang melambung karena kalkulator hanya dimainkan oleh mata sang kasir, ketika melihat makanan dan minuman yang dihabiskan. Akan tetapi, ketika disuruh hitung kembali, harga akan turun berkali lipat.

Also Read  Konsep Siri', Kasus Ferdy Sambo, dan Kehormatan Keluarga

Beberapa warung di Aceh yang mengcekik leher konsumen memang hanya mampu bertahan beberapa bulan saja. Sebab, konsumen akan bercerita tentang harga yang tidak masuk akal. Dulu di kawasan Lamnyong ada restoran yang mengusung tema makanan dari negeri Malaysia dan Thailand, yang terpaksa  tutup disebabkan minim pengunjung, karena harganya yang cukup fantastik, sehingga pemilik restoran memasang harga sesuai dengan keinginan untuk menarik untung secepatnya. Bahkan beberapa tamu dari Jakarta, sempat mengeluhkan dengan sistem harga di restoran tersebut.

Hal ini sama sekali bukan berkenaan dengan urusan legal formal, melainkan lapisan etika dan moral dalam hukum Islam. Inilah wilayah pelaksanaan hukum Islam yang abai selama ini di Aceh. Kedua lapisan ini sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan otoritas agama di provinsi ini. Rakyat dibiarkan memahami dan bernegosiasi di ruang publik untuk hal-hal seperti ini. Padahal substansi dari pelaksanaan hukum Islam adalah implementasi lapisan etika dan moral di dalam masyarakat.

Ketika penjual sesuka hati mematuk harga yang tidak wajar, konsumen atau rakyat sama sekali tidak bisa berdaya dan mempertanyakannya. Penjual yang ingin cepat kembalikan modal, selalu membuat harga-harga yang tidak masuk akal, tidak terkecuali di Banda Aceh.

Prinsip beda bahasa beda harga adalah hal yang cukup menyita perhatian publik di Banda Aceh, ketika mereka menikmati kuliner. Ketika bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris, maka harganya pun sudah dinaikkan beberap kali lipat, di atas angka kewajaran. Sejatinya, kondisinya inilah yang perlu ditertibkan, supaya keberkahan di dalam transaksi dan jual beli, dapat terpenuhi ketika akad jual beli ada keridhaan di antara dua belah pihak.

Also Read  Civil Society and Corruption in Acehnese Society

Tentu rakyat pun tidak akan protes, sebab hanya kelas sosial tertentu yang menikmati kuliner yang berbeda bahasa beda harga tersebut. Kita melihat anak-anak muda yang nongkrong di warung-warung demi gaya hidup mereka, tentu akan menguras kantong orang tua mereka di kampung halaman. Jika batas kewajaran harga ini tidak diselamatkan oleh kontrol publik, maka pembiaran atas nama kapitalisme ini akan menjadi pemandangan yang biasa saja, karena demi gaya hidup dan gengsi sosial.

Pengalaman saya di restoran Pizza Hut Lamnyong bukanlah ingin menggugat keberadaan pebisnis untuk mengembangkan kemajuan wisata kuliner di Aceh. Akan tetapi ingin mengatakan bahwa kewajaran harga adalah pra-syarat utama di dalam membina moralitas perekonomian di negeri syariat ini.

Saya sudah menikmati kuliner dari Banda Aceh hingga Merauke, saat melakukan Touring Indonesia Harmoni. Berbagai pengalaman kuliner ini menyiratkan bahwa Banda Aceh adalah salah satu kota yang paling mahal harga makanan dan minumannya, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan kota-kota besar di ASEAN, dari pengalaman saya, tampaknya Aceh menjadi salah satu kota yang paling tidak ramah harga makanannya dengan kantong pelanggan.

Namun, pelanggan atau konsumen tetap menikmatinya. Karena bagi orang Aceh, menikmati kuliner adalah bagian penting dari tradisi haba mangat dan pajoh mangat. Tidak mengejutkan walaupun harga makanan dan minuman di Banda Aceh cenderung tinggi, tetapi beberapa restoran tetap bertahan, walaupun ada beberapa yang terpaksa gulung tikar.

Purna Wacana

Akhirnya, essai ini ingin mengatakan bahwa lapisan etika dan moral dari pelaksaaan hukum Islam masih belum tersentu sama sekali. Padahal dua hal ini yang menjadi pesan kenabian ketika dia diutus ke muka bumi. Rasul adalah pedagang yang sukses, tentu tidak pernah mencekik leher pembelinya, saat dia bertransaksi!

 

 

 

 

 

 

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

2 Comments

  1. Kalau dalam Bukunya Kahrudin Yunus yang berjudul Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama, ia menolak sistem perdagangan yang berlaku sekarang ini, yang mana menjadi awal mula penjajahan di berbagai dunia. Kebetulan saya sedang garap tesis pemikiran ekonomi politik beliau..


    Salam kenal ustad, saya pernah ikut dalam acara launching buku yg berjudul Radikalisme dan terorisme di Aceh, saat itu saya masih jadi mahasiswa S1 di kampus nomor dua di Aceh, hehe

    Ternyata ustadz aktif di blogger juga, hehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button