
Baru-baru ini, saya terlibat diskusi yang cukup alot mengenai kebolehan siswa membawa HP ke sekolah. Hal ini disebabkan ada sebagian orang tua yang menginginkan anak-anak mereka membawa HP ke sekolah. Tentu saja dengan berbagai alasan, seolah-olah anak-anak cukup jauh dari sisi mereka. Namun ada juga yang tidak menginginkan anak-anak mereka membawa benda digital ini ke sekolah. Dalam artikel singkat ini, saya akan mengulas sedikit banyak pengaruh HP ini terhadap pelajar yang menginjak puberitas yang mengalami kencanduan dengan media sosial.
Studi terkini yang ditulis oleh Jonathan Haidt (2024) mengatakan bahwa untuk mengubah gangguan mental pada anak-anak, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan menjadikan sekolah bebas dari Handphone.
Temuan riset ini menunjukkan bahwa epidemik baru yang dialami oleh anak-anak adalah gangguan mental yang cukup akut. Mereka kadang gelisah tidak menentu. Selalu ingin tampil sempurna di media sosial. Kecanduan dengan memfoto diri sendiri di media sosial. Bagi mereka yang hobi main game, maka perilaku agresif, tidak dapat dinafikan. Terkadang mereka juga tidur di atas jam 12 malam, dimana jam istirahat berkurang, sehingga menyebabkan kebugaran mereka terganggu. Semua impak kesehatan dari kecanduan HPdi kalangan mereka, menjadi perhatian para pakar pendidikan saat ini di luar negeri. Hal ini kemudian ditambah dengan konsumsi jajanan yang jauh dari kata sehat, yang dijual di pinggir jalan.
Saat ini, ruang anak-anak atau remaja tampaknya hanya di rumah dan sekolah. Selama di sekolah, mereka akan berinteraksi denga guru dan sesama mereka. Hampir dapat dikatakan bahwa mereka yang masuk ke sekolah menengah atas saat ini adalah kelahiran 2009 dan 2010. Mereka adalah generasi yang benar-benar dikondisikan menjadi setengah manusia, setengah robot. Pengaruh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) pada diri mereka sudah demikian parah. Sehingga generasi ini diprediksi akan menganggu gangguan mental yang cukup parah dalam beberapa tahun ke depan.
Tentu saja, para pendidik di Aceh tidak setuju dengan temuan penelitian di atas. Sebab, orang tua masih tunduk pada anak-anak mereka untuk mengakrabkan HP pada putera-puteri mereka. Bahkan, di sekolah tertentu, para siswa mengalami gangguan mental, ketika orang tuanya tidak mampu membelikan HP dengan merek tertentu – Iphone misalnya. Istilah yang paling sering dikatakan adalah kena mental. Ketika ke sekolah tidak menggunakan merek HP tertentu tersebut, sementara teman-temannya menggunakan merek tersebut, maka tingkat kepercayaan diri anak tersebut mulai terganggu.
Perilaku kena mental ini telah merambat di beberapa sekolah. Dalam hal ini, pihak sekolah sama sekali tidak menganggap penting akan dampat kejiwaan pada anak-anak didik mereka di sekolah. Sebab sekolah nya menjadi pelaku industri pendidikan. Anda suka ke sekolah kami, maka ikutilah aturan sekolah kami. Jika tidak, silahkan angkat kaki dari sekolah kami! Keengganan pihak sekolah menyadari perubahan perilaku anak yang semakin terganggu jiwa mereka, membuktikan bahwa pendidik di negeri kita adalah ibarat mesin pendidik semata, tanpa memiliki beban nurani tentang moral dan etika sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Sampai saat ini pun, pemerintah belum melihat perilaku anak-anak membawa HP ke sekolah sebagai masalah besar. Hemat penulis, keberadan HP di tangan pelajar sekolah merupakan akibat dari pola pembelajaran pada Covid-19 yang lalu. Hingga sekarang, alasan untuk mengikuti perkembangan zaman, merupakan azimat sosial, untuk mengatakan bahwa anak-anak boleh membawa HP ke sekolah mereka. Pola pembelajaran seperti ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang menunjukkan sudah maju atau canggih sama sekali. Saat itu, tuntutan keadaanlah yang menjadikan situasi mendesak kehadiran HP di tangan pelajar, baik di rumah maupun di sekolah.
Adapun mengenai alasan orang tua yang ingin anak-anak mereka tetap memakai HP di sekolah juga dapat dipahami. Sebab logika anak yang dekat dianggap jauh oleh para orang tua, sehingga diperlukan perangkat untuk selalu mengontak mereka. Tentu pola pikir ini tidak dapat disalahkan, khususnya di kalangan generasi orang tua yang kelahiran 1980-an ke atas. Pola pikir anak jauh dan mudah dihubungi, menjadikan seolah-olah HP-lah yang bisa menyatukan mereka, kendati berpisah dalam kadar beberapa jam saja dan masih tinggal dalam satu kawasan.
Kemunafikan sosial ini ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku orang tua yang juga jarang berkomunikasi langsung dengan putera-puteri mereka. Fenomena makan di warung, dimana seluruh anggota keluarga sibuk dengan gawai masing-masing, menjadi fakta yang tidak terelakkan. Dengan kata lain, saat mereka dekat pun, ternyata mereka sangat berjauhan dalam berkomunikasi dua arah. Anak sibuk main game. Orang tua sibuk scroll di IG, Tik Tok, dan Shorts Youtube. Jadi, kemunafikan sosial ini kemudian memperkuat landasan bahwa para orang tua juga menjadi kontributor aktif anak-anak mereka mengalami gangguan mental.
Kontribusi guru dan orang tua inilah yang kemudian membentuk generasi yang tidak sehat di Aceh. Guru yang melakukan transfer pengetahuan ternyata tidak menyadari bahwa keengganan mereka untuk melarang HP di sekolah, telah merusak generasi muda Aceh di masa yang akan datang. Pola pembelajaran yang memakai HP ini seolah-olah memudahkan, walau dalam hal tertentu memberikan impak yang cukup membahayakan. Beberapa sekolah masih menganggap bahwa fenomena ini tidak bermasalah. Hal ini sangat boleh jadi dipicu oleh perilaku para pendidik yang juga mengalami kencanduan yang sama terhadap gawai.
Akibatnya, ketika kita berharap banyak pada dunia pendidikan untuk mampu menjadi tempat pembelajaran yang mampu menyehatkan lahir dan batin siswa, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Sebab, pihak sekolah akan “cuci tangan” ketika anak-anak mengalami gangguan mental dalam kehidupan sosial mereka. Bahkan orang tua yang ingin mengobati penyakit gangguan mental ini cenderung dipandang sebagai “musuh” sekolah yang harus dicurigai. Pola kerjasama untuk membuat penyakit gangguan mental ini tampaknya terjadi di dalam ruang pembelajaran di sekolah.
Uniknya, di negera yang cukup canggih peradaban teknologinya, seperti Jepang, sama sekali melarang para siswa membawa HP ke sekolah. Ternyata orang tua pun setuju dengan aturan tersebut. UNESCO juga telah merekomendasikan untuk melarang anak-anak membawa HP ke sekolah, karena interaksi secara langsung lebih tepat dibandingkan dengan HP. Hal ini menunjukkan bahwa para ahli pendidikan memandang interaksi pendidikan yang baik adalah tanpa melibatkan HP di dalamnya.
Atas dasar ini, pemerintah Aceh sejatinya dapat meninjau kembali keberadaan HP di sekolah yang telah menjadi perhatian dunia internasional. Saat negara maju berpikir menjauhkan HP dari anak-anak di sekolah, kita yang baru saja berkenalan dengan teknologi digital ini, malah melakukan sebaliknya. Kita bangga ketika anak-anak kita memakai HP dengan merek tertentu di sekolah. Guru pun bangga kalau mereka dapat berinteraksi dengan peserta didik mereka melalui HP. Anomali dalam dunia pendidikan di Aceh sejatinya dapat terselesaikan dengan baik.
Kita menitipkan anak-anak kita pada sekolah, tidak hanya berharap pada peningkatan kecerdasan mereka, tetapi bagaimana perilaku mereka juga berubah. Karena itu, sangat naif jika pihak sekolah dan pemerintah tidak memikirkan bagaimana kondisi yang benar-benar kondusif bagi pembelajaran bagi anak-anak kita. Para ahli sudah menghubungkan gangguan mental anak-anak yang kecanduan HP, sementara kita masih duduk diam sambil mengatakan bahwa sekolah kami dibolehkan anak-anak untuk membawa benda. Tentu ini adalah perilaku yang kontraproduktif dalam dunia pendidikan di Aceh.
Artikel ini sudah dimuat dalam Harian Serambi Indonesia Tanggal 16 Juli 2024