Ragam Potret Kemiskinan di Aceh

Prawacana
Sebagai peneliti sosial antropologi, memahami fakta sosial budaya di lapangan adalah suatu keniscayaan. Karena itu, saya berusaha untuk masuk kampung keluar kampung, untuk mengerti apa sesungguhnya yang terjadi dengan fenomena kemiskinan di Aceh. Apakah orang Aceh memang ditakdirkan untuk miskin atau ada sistem yang membuat mereka ‘miskin sukarela.’
Kemiskinan Sukarela?
Ketika saya menuju satu perkampungan di pedalaman Kabupaten Aceh Utara, saya sempat bertemu dengan beberapa remaja yang memiliki pekerjaan sebagai pemungut buah pinang di kebun. Sehari-hari, mereka digaji hanya 20 hingga 30 ribu rupiah.
Begitu juga ketika mereka mengelupas buah pinang, mareka akan digaji sesuai dengan jumlah kilo yang mereka dapat selesaikan pada hari tersebut. Namun, kalau harga pinang di pasar turun, maka mereka juga sudah menunjukkan keputusasaan bahwa pendapatan mereka akan berkurang.
Ketika minum kopi di salah satu kabupaten di Aceh Barat Selatan, sempat bertemu dengan seorang perempuan di umur 20-an, namun sudah memiliki 3 putera. Sedangkan suaminya adalah berprofesi sebagai pemecah batu. Dari pekerjaan ini hanya sanggup dikumpulkan beberapa rupiah saja, untuk menutup keperluan hidup sehari-hari.
Ketika melihat isi mangkuk para pemuda di warung tersebut, hampir semua mereka menyantap mie instant plus kerupuk. Setelah itu, mereka menatap kosong, sambil memikirkan pekerjaan yang mereka dambakan tidak pernah sampai ke hadapan mereka.
Lebih dari itu, fenomena kawin muda adalah yang tidak bisa ditutupi di Aceh. Di usia SMP atau SMA, seharusnya mereka di bangku sekolah, ternyata beberapa diantara mereka sudah mengendong anak di dalam pangkuan mereka. Pendapatan suami yang tidak menentu, ditambah lagi dengan harga barang yang terus melonjak.
Terkadang akibat kemiskian sukarela ini, angka perceraian naik begitu tajam. Angkai nikah dini dan perceraian yang cukup tinggi menjadi bukti kuat, bahwa pendapatan yang tidak tetap, menjadi alasan kuat, disamping beberapa alasan lainnya.
Menilik potret kemiskinan di pedalaman Aceh memang cukup memprihatinkan. Bagi mereka, uang 50 ribu begitu bermakna. Kalau di kota uang 50 ribu terkadang adalah harga untuk sekali duduk di warung atau cafe.
Kemiskinan dan Hedonisme
Namun demikian, pola kemiskinan sukarela ditambah lagi dengan budaya hedonisme yang sudah sampai ke seluruh perkampungan di Aceh. Membeli android adalah hal yang wajib. Begitu mendapatkan rezeki, memiliki sepeda motor adalah daftar barang yang harus dimiliki.
Begitu dua hal di atas dipunyai, maka langkah seterusnya adalah bukan menabung, melainkan membeli kuota data untuk main judi atau game online. Hal ini tidak terkecuali untuk membeli shabu-shabu. Kalau kita memasuki kampung di Aceh, kondisi ini tidak dapat dikesampingkan.
Oleh sebab itu, memahami kemiskinan di Aceh hampir mirip dengan memahami budaya kemiskinan. Artinya di sana ada persoalan cara berpikir masyarakat tentang definisi sukses dan rasa malas yang begitu mengkhawatirkan.
Di beberapa kampung, beberapa tempat nongkrong terkadang papan atau bambunya begitu licin, karena para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tidur-tiduran di tempat tersebut selama bertahun-tahun. Mereka hanya ditemani segelas kopi dan sebungkus rokok, untuk melewati hari-hari dalam kehidupan mereka.
Belajar dari Perantau Jawa?
Lahan pekerjaan memang sudah begitu menipis untuk dikais jika terus dipikir bahwa nasib mereka tidak dapat diubah. Namun berbeda dengan orang Jawa yang merantau ke Aceh. Perantau Jawa yang mengirimkan pendapatan puluhan juta ke kampung halaman mereka. Mereka rela hidup sederhana, asalkan dapat mengirimkan dana setiap bulan ke keluarga mereka.
Di Banda Aceh, perantau Jawa yang menjual jajanan di beberapa sudut atau tepi jalan, rata-rata mereka mendapatkan keuntungan 500 ribu rupiah perhari. Pendapatan ini tidak merubah gaya hidup mereka. Saya pernah bertanya kepada perantau Jawa mengapa mereka tidak mau menyewa tokoh atau gedung, untuk bisnis mereka. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak pernah terbayangkan dalam benak mereka.
Bagi mereka berbisnis di pelataran tokoh, pertigaan jalan, menunggu pelanggan di bawah terik matahari, dan hidup hemat adalah strategi untuk mengumpulkan pundi-pundi pendapatan, tanpa harus mengeluarkan dana yang cukup banyak, sebagai modal awal untuk berbisnis kuliner.
Angka Bertambah, Jumlah Berkurang?
Kondisi di pedalaman Aceh memang tidak begitu menjanjikan untuk mendapatkan pendapatan yang memadai. Ruang gerak dan ruang berpikir seakan-akan menjadi tersumbat, kecuali menerima bantuan dari pemerintah melalui berbagai program.
Akhirnya, nomor NIK menjadi kekuatan utama untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Menurut beberapa kepala desa yang dijumpai, disebutkan bahwa setiap tahun angka kemiskinan di kampung mereka meningkat, tetapi jumlah yang bertambah miskin secara nyata tidak pernah naik.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa di kampung mereka, kemiskinan cenderung mengakibatkan kemasalan. Sebab, mereka hanya mengandalkan pada bantuan pemerintah semata. Selain itu, mereka tidak mau bekerja sama sekali.
Bahkan di rumah yang dikategorikan sebagai miskin terkadang memiliki android yang harganya mencapai jutaan rupiah. Karena tidak ada pendapatan yang jelas, akhirnya, bantuan pemerintah terkadang dipakai untuk membeli kuota internet.
Kemiskinan Karena Baju Dinas?
Selain potret kemiskinan di atas, ada juga kemiskinan dalam baju seragam dinas. Mereka adalah yang berprofesi sebagai tenaga bakti atau honorer. Terkadang gaji hanya 300 sampai 500 ribu perbulan, dimana mereka terkadang menerima jerih payah mereka 4 atau 6 bulan sekali.
Sehingga wajah kebahagian dari para tenaga honorer ini pun terkadang tidak sumringah. Keluar dari kantor yang sedang mereka bakti, merupakan peluang bagi orang lain untuk menggantikan posisi mereka. Menunggu SK yang tidak pasti adalah hal yang lumrah dijumpai.
Kemiskinan dalam baju seragam juga terlihat dari ASN yang ‘menyekolahkan’ SK atau sertifikat mereka ke bank. Akhirnya, pendapatan bulan mereka sama sekali tidak mencukupi. Akhirnya, sibuk mencari ‘uang kopi’ ketika ada pekerjaan di kantor.
Kemiskinan dalam baju seragam pun menjadi fenomena tersendiri di perkotaan. Mereka masuk kantor tidak punya semangat. Karena sampai 10 tahun depan, betapapun mereka masuk kantor, penghasilan mereka tidak lagi mencukupi biaya hidup.
Kalau ada ‘proyek’ atau ‘perjadin’ maka itulah yang menjadi pendapatan tambahan. Di beberapa kabupaten, kantor-kantor pemerintahan setelah shalat Dhuhur menjadi begitu sepi. Para pegawai hanya datang untuk absen atau sidik jari.
Solusi?
Dari uraian di atas, tampak bahwa kemiskinan di Aceh adalah suatu keniscayaan. Di sini mental miskin ditambah dengan rasa malas, tidak ada peluang, belum memiliki akses, ditambah dengan perlakuan oknum yang pilih kasih, menjadi sekian alasan mengapa kemiskinan di Aceh menjadi permanen.
Namun, angka kemiskinan dapat diturunkan. Begitu banyak program dan peluang yang ada saat ini. Media sosial menjadi lahan baru untuk mengais rezeki. Bisnis online shop menjadi suatu pekerjaan yang amat menjanjikan.
Dewasa ini, untuk mengeluarkan dari posisi kemiskinan, kesadaran dan mental yang harus diubah. Jangan menikah, sebelum mapan. Jangan menambah beban dengan banyak berhutang. Jangan membeli barang yang menguras isi kantong. Jangan bermain judi atau game yang hanya memperkaya orang lain.
Semua aktifitas di atas adalah prasyarat untuk keluar dari dari garis kemiskinan. Kebun jangan ditelantarkan. Jangan meminjam dari Bank 47 adalah strategi bisnis yang baik. Pandai mencari peluang dalam berbisnis. Jangan cepat mencari untung besar ketika membuka bisnis baru. Jangan mencuri barang pelanggan, kalau membuka bengkel. Jangan menipu saat menakar barang. Ini adalah sebagian tindakan yang tidak terpuji yang hatus dijauhi, jika ingin dapat harta yang berkah.
Saya melihat banyak mereka yang awalnya miskin, lalu mendapatkan jalan untuk menuju cukup, dimulai dengan ibadah dan shadaqah. Dua perilaku ini adalah pintu gerbang seseorang menuju kaya. Orang yang kaya raya saat ini adalah mereka yang awalnya jatuh bangun, kemudian mengubah cara pandang, lalu berusaha sambil ibadah dan shadaqah.
Pertanyaannya adalah apakah mereka yang berada dibawah garis kemiskinan mampu mengubah cara pandang mereka seperti di atas. Tentu saja, akan sulit, sebab main dan judi game online bersama shabu-shabu adalah langkah awal seseorang menuju pada kemiskinan.