Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
CommunityEthnography
Trending

Robohnya Panggung Sandiwara di Aceh

Ketika Seni Drama Ditaklukkan oleh Konflik

Prawacana

Dalam artikel ini, saya akan mencoba mengulas tentang robohnya panggung sandiwara di Aceh. Panggung Sandiwara adalah semacam panggung teater yang dilakukan oleh para seniman lokal di Aceh selama puluhan tahun. Seni teater ini hancur ketika Seni Drama ditaklukkan oleh Konflik di Aceh.

Broadway di New York

Ketika saya diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Amerika Serikat, di New York dalam satu kesempatan, rombongan kami diberikan kesempatan untuk menonton Broadyway, suatu seni pementara musikal yang paling banyak menyerap penonton di kota tersebut. Tata panggungnya cukup artistik. Para penari, pemain drama, dan tim kreatif harus bekerja keras, supaya show mereka tampil maksimal di malam itu. Malam ini, hampir semua seat penuh. Para penonton harus memesan tiket jauh-jauh hari, supaya mereka kebagian kursi untuk malam itu.

Ketika menonton acara Broadway tersebut, saya langsung teringat dengan Panggung Sandiwara di kampung halaman di era 1980-an. Panggung sandiwara ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena ada cerita, musik, dan lawak dalam satu panggung yang diperankan oleh seniman lokal. Panggungnya selalu artistik. Layar penutup bekerja secara maksimal, untuk memasuki satu babak ke babak lain dalam seni pementasan.

Sinar Jeumpa dan Sinar Harapan

Beberapa nama yang saya ingat adalah Sinar Jeumpa dan Sinar Harapan. Mereka bekerja keras untuk membangun panggung. Tata lampu disesuaikan. Alat musik harus dapat dipindahkan, jika ada drama yang hendak dimulai. Para artis harus bisa ganti baju secepatnya berikut dengan make upnya. Semua harus dikerjakan malam itu, tanpa ada yang bertanya apa tugas saya.

Also Read  How did Acehnese Commemorate the Dutch Declaring War on Aceh on March 26, 1873

Setiap malam, drama yang ditampilkan selalu ada bumbu kesedihan dan kelucuan. Para aktor bermain secara all out. Terkadang pementasan mereka membuat penonton harus menyeka air mata. Begitu juga ketika ada yang lucu, maka satu stadion akan tertawa terpingkal-pingkal.  Para penonton selalu menanti artik favorit mereka untuk tampil.

Suasana di bawah panggung persis seperti pasar malam. Penonton duduk beralaskan tikar atau sanda jepit. Embun malam yang turun, tidak mereka perdulikan. Jika membawa pasangan, mereka akan duduk jauh dari kerumunan. Para penjaja makanan kecil akan berputar-putar semalaman untuk menjajakan makanan dan minuman.

Panggung Rakyat

Anak-anak berlarian di bawah panggung. Bagi mereka masuk ke areal panggung sandiwara adalah gratis, asalkan bersama orang tua. Karena itu, ketika diizinkan oleh orang tua di rumah dan mereka tidak ikut menonton, makan sebagian anak-anak akan menanti di pintu masuk, untuk langsung pegang tangan siapapun orang tua yang tidak membawa anak, ketika orang tersebut sudah beli tiket. Setelah lepas dari penjaga karcis, maka stadion tersebut adalah milik mereka.

Tatapan tajam anak-anak untuk mencari siapa yang mereka gandeng, terkadang menjadi rebutan. Sebab, jika tidak ada orang tua yang menggandeng mereka, maka harus menanti saat show sudah setengah jalan. Tentu ini akan berefek ketika bercerita tentang cerita Panggung Sandiwara di sekolah besok hari.

Saat itu, ketika  duduk, maka akan terdengar: ” Ranup tup, bakong tong, neu tulong lon, 25 rupiah.”  Itulah strategi penjaja untuk menarik perhatian pembeli. Dentuman musik band di atas panggung juga tidak kalah heboh. Musisi dan artis yang menyanyikan lagu, tentu sudah tahu selera para penonton. Lagu-lagu cengeng mulai dari Ratih Purwasih hingga Betharia Sonata menjadi langganang. Sedangkan lirik lagu Ikang Fawzi dan Ahmad Albar cukup membuat penonton menghentakkkan kaki mereka di tanah.

Also Read  Agama Sebagai 'Buluh Perindu', Budaya Sebagai 'Azimat Sosial, dan Nilai Sebagai 'Kosmetika Sosial' dalam Masyarakat Aceh

Para Aktor

Semua potret ini adalah kenangan bagaimana seni rakyat di Aceh tumbuh subur. Salah seorang legend yang paling terkenal adalah Cek Bie. Seorang warga dari Cot Seurani. Beliau adalah tukang cukur rambut di Pasar Inpres, Krueng Mane. Anak-anak dari Krueng Mane tentu akan selalu ingat sosok Cek Bi, karena anak-anak selalu diantarkan ke Cek Bi untuk potong rambut.

Kesehariannya tidak menampakkan beliau adalah Pelawak. Namun, namanya tersohor ke berbagai tempat di pelosok Aceh Utara, Timur, hingga Aceh Pidie. Kehadirannya sangat ditunggu, karena kekocakannya. Santun dan bertutur. Selalu hadir di shalat jama’ah di meunasah dan masjid. Setia pada keluarga. Ini merupakan sedikit gambaran dari sosok Cek Bi.

Namun, ketika dia bermain peran, maka orang lupa kalau dia adalah Cek Bi yang pendiam. Kemampuan seni perannya tidak diragukan. Celotehannya selalu mengocok perut penonton. Namun, kehadirannya di Pasar Inpres tidak menunjukkan kalau Cek Bi adalah legend dari Krueng Mane.

Seni Drama ala Panggung Sandiwara merupakan bisnis yang menjanjikan saat itu. Mereka bisa bertahan bermalam-malam untuk menghibur masyarakat. Mereka paham kapan akan harus membangun panggung, yaitu saat panen raya selesai. Masyarakat setempat tentu punya sedikit uang untuk mereka sisihkan, setelah sekian bulan bercocok tanam di sawah. Bagi mereka, hiburan malam adalah suatu keniscayaan, bukan aib sosial.

Mereka akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Persis seperti pasar malam saat ini, yang lulus dari segala zaman di Aceh. Kalau tidak manggung, maka seluruh pelaratan akan dititipkan di tempat pemilik rumah produki Sandiwara. Semua pelaku akan berfungsi sebagaimana wajarnya. Tidak ada yang merasa kalau mereka sangat terkenal di masyarakat. Karena hiburan untuk masyarakat bertujuan untuk mengibur, bukan bisnis semata.

Also Read  Alumni Yogyakarta di Matang

Di Krueng Mane, lapangan sepak bola menjadi saksi sejarah panggung Sandiwara dan seni pentas lainnya seperti Mop Mop dan Seudati. Namun, untuk kasus Sandiwara hilang ditelang zaman begitu saja. Sampai sekarang, energi pemain Sandiwara tampak dari beberapa artis lokal seperti Damaneh dan Kuya Ali. Seni mereka memang seperti pernah berpengalaman di atas panggung.

Kehidupan seni dalam orang Aceh bukanlah seperti minyak dan air, melainkan seperti garam dengan sayur. Masyarakat Aceh telah hidup berdampingan dengan aktifitas kesenian. Karena itu, ketika konflik hadir di Aceh tahun 1980-an hingga 2000-an awal, aktifitas kesenian rakyat Aceh di perkampungan sirna. Orang tidak berani keluar rumah. Kalau ada celotehan yang tajam, akan diundang oleh aparat ke markas mereka.

Purna Wacana

Sandiwara di Aceh, seperti Sinar Jeumpa dan Sinar Harapan, telah menjadi kenangan bagi rakyat setempat. Padahal era Sandiwara ini telah menunjukkan kontribusi penting dalam narasi kemodernan dan keacehan di Tanah Rencong. Maksudnya, potret Sandiwara menjadikan salah satu rujukan, bagaimana orang Aceh mengaktualisasikan diri mereka di atas panggung. Di Pulau Jawa dikenal dengan Ketoprak atau Lenong. Tidak terkecuali legenda lawak Srimulat, yang awalnya dari panggung ke panggung di Tanah Jawa.

Akhirnya, dari kenangan ini, saya ingin menegaskan bahwa kalau rakyat sudah tidak dihadirkan seni dalam ruang publik, maka mereka akan sulit untuk mengekspresikan diri mereka. Masyarakat menjadi kaku. Wajah selalu suram. Saling tegur sapa menjad hal yang mahal. Curiga di atas segala-galanya. Hal ini disebabkan ruang publik untuk saling bersilaturrahmi telah ditiadakan oleh keadaan.

 

 

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button