Asian Muslim Action Network (AMAN) adakan kegiatan Harmony in Action workshop di Thailand. Kegiatan tersebut dilaksanakan di International Institute of Peace and Development Studies (IIPDS) Nong Chok, Thailand. Acara ini diadakan selama 3 hari mulai tanggal 18-20 Mei 2024.
Kegiatan workshop ini diikuti oleh beberapa perwakilan dari 9 negara yang mencakup Indonesia, Thailand, Myanmar, Nepal, Gambia, Srilanka, India, Bangladesh, dan Turki. Indonesia diwakili oleh lima mahasiswa dan satu siswa yang berasal dari berbagai instansi yang berbeda, mereka adalah; Nailis Wildany, Rismayani, Tajul Iflah dan Meuthia Raihan yang merupakan mahasiswa dan alumni dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN ar-Raniry, Saidil Mukammil Bawarith alumni Ma’had Aly MUDI Mesra Samalanga dan Ghinaya Nafisa, siswi SMA Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) Banda Aceh.
Selama tiga hari kegiatan berlangsung, workshop ini diisi oleh pemateri-pemateri dengan latar belakang yang berbeda serta membahas mengenai isu-isu global yang berbeda-beda pula, mencakup HAM, kesetaraan gender dan resolusi konflik. Salah satu pemateri yaitu Ms. Nyo Mar Than dari Myanmar yang merupakan aktivis perempuan dan pendiri sekaligus direktur eksekutif dari Feminist Minority Women’s Institute membahas seputar Hak asasi manusia meliputi sejarah dan urgensinya. Menariknya, ia menyinggung mengenai brain wash (cuci otak) bahwa hak politik dan hak asasi tiap warga negara tidak hanya ditentukan oleh ada tidaknya pemilu, atau one man one vote yang berlaku pada saat pemilu, akan tetapi HAM dan Demokrasi adalah ketika setiap orang memperoleh haknya secara penuh dan utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Nyo Mar mengibaratkan HAM bagai sebuah makanan yang tengah dimasak dalam sebuah kuali, dimana yang berperan menjadi apinya adalah tiga hal; indivisible (tak terpisahkan), inaliable (tak dapat dicabut), dan interralated (saling berhubungan). Jika tiga hal ini ada yang hilang dan tidak terpenuhi, maka makanan (HAM) yang tengah dimasak di dalam kuali tidak akan pernah siap untuk dihidangkan.
Dalam sesi materi, para peserta juga dibawa untuk memahami dengan melakukan interaksi antar gender, ras, golongan, agama, suku, dan identitas dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi. Peserta diberi contoh kasus diskriminasi dan kekerasan gender lalu dituntut untuk mencari jalan keluar dari kasus yang diberikan tersebut.
Hari kedua kegiatan diawali dengan materi terkait menangani tantangan global yang diisi oleh Muhammad Abdus Sabur, beliau merupakan salah satu pendiri organisasi Asian Muslim Action Network dan juga presiden Asian Resource Foundation.
Mr. Ekraj Sabur, Mantan Direktur Internasional Institute of Peace and Development Studies (IIPDS), mengatakan dalam materinya terkait pemahaman konflik dan kekuasaan bahwa kekuasaan dapat menciptakan maupun menyelesaikan konflik, karena konflik dapat muncul disebabkan perbedaan kepentingan, nilai serta tujuan, baik pada tingkatan individu, kelompok, maupun antar negara. Oleh karena itu, dalam konflik kekuasaan itu bisa menjadi sumber masalah jika tidak digunakan secara tidak adil.
Dalam memahami konflik ini para peserta dibagi kepada empat kelompok dengan mempelajari terkait berbagai konflik yang terjadi di dunia seperti konflik sosial di Myanmar, konflik di India imbas dari over Populasi, serta konflik Sinhala dan Tamil di Srilanka yang terjadi pada tahun 1983 dan 2009. Disini para peserta dituntut untuk memahami dan menganalisa sumber konflik serta bagaimana menemukan resolusi konflik dari sudut pandang setiap kelompok.
Hari terakhir kegiatan bertepatan dengan tanggal 20 Mei, seluruh peserta melaksanakan study tour ke Thammasat University. Di Auditorium Fakultas Sosiologi dan Antropologi, peserta diberi pemahaman tentang Multiculturalism (multikulturalisme) yang terjadi di Thailand. Dalam kesempatannya peserta juga diajak melihat pameran kemanusiaan yang ada di Thailand. Sebelum kembali ke IIPDS peserta diajak untuk mengunjungi candi bersejarah di Thailand yang menjadi saksi bisu terhadap konflik antara kerajaan Thailand dan Myanmar dulunya.
Seluruh rangkaian acara dari hari pertama hingga hari terakhir selesai dilaksanakan, peserta terlihat cukup antusias menikmati setiap sesi, “Menjadi bagian dalam perjalanan keilmuan yang berharga ini menjadi sebuah kehormatan bagi kami dapat ikut berpartisipasi dalam memahami antar multi-etnik, multi-budaya, multi-agama. sebagai negara yang memiliki beragam budaya, agama, etnik, suku, ras, Indonesia menjadi negara yang sangat rentan terhadap terjadinya konflik jika perbedaan tersebut tidak dapat dirawat dengan baik terutama terhadap maraknya kasus bullying di kalangan pelajar yang akan menjadi mimpi buruk bagi generasi Indonesia mendatang. Oleh karena itu, Pemahaman terhadap unity in diversity atau yang lebih lumrah dengan bhineka tunggal ika harus tertanam dalam setiap jiwa bangsa Indonesia demi terciptanya negara yang damai” Tutur Saidil Mukammil Bawarith, Mahasantri Magister Ma’had Aly MUDI Mesra Samalanga juga ketua Organisasi Pelajar Islam Indonesia Pidie Jaya.
Nailis Wildany, Alumni Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri ar-Raniry juga berkomentar terkait workshop ini “Berinteraksi dan berdiskusi dalam forum international seperti ini memberi wawasan yang cukup luas bagi saya, melihat bagaimana perspektif dan sudut pandang yang beragam dari teman-teman negara lain benar-benar membuka mata, bahwa perbedaan tidak selalu mendatangkan konflik tapi disisi lain perbedaan ternyata juga mampu menghadirkan keharmonisan. Forum ini mirip minatur Indonesia bagi saya, berbeda-beda tapi tetap saling menghargai satu sama lain” Tuturnya.