Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Life Story

Self Centered Versus Midlife Crisis

Ketika Diri Tidak Terkendali

Pendahuluan

Dalam esai ini saya ingin mengupas tentang Self Centered Versus Midlife Crisis. Dua istilah ini memang jarang dibahas dalam kehidupan sosial, tetapi kedua istilah ini adalah hal yang paling lazim terjadi, ketika diri tidak terkendali lagi sama sekali, terutama ketika usia seseorang mulai berumur di atas 45 tahun ke atas.

Self Centered menurut istilah adalah hanya ingin mementingkan diri sendiri. Hanya dirinyalah yang harus menjadi pusat perhatian. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami Self Centered cenderung hanya mementingkan dirinya, kerap abai dengan orang lain. Dia hanya yang ingin didengar, tetapi jarang sekali ingin mendengar orang lain. Hanya cerita dialah yang perlu diakui, sementara ketika orang lain bercerita sama sekali tidak diacuhkannya.

Adapun Midlife Crisis adalah suatu penyakit sosial di kalangan invididu tertentu yang merasakan kecemasan terhadap kondisinya yang belum memiliki apa yang diinginkan dan selalu merasakan ada ancaman dari siapapun, tidak terkecuali dari keluarga sendiri. Mereka harus menahan rasa, karena banyak pencapaian dalam kehidupan mereka yang tidak berjalan dengan baik. Mereka terkadang menjadikan siapapun saingan, kendati dalam bertutur kata, akan sangat manis dan seolah-olah tidak ada masalah apa-apa.

Kedua hal ini, memang kerap saya dapati dalam kehidupan seseorang, terutama di dalam lingkungan kerja atau relasi sosial. Mereka terus menampakkan kedirian mereka. Mereka mabuk dengan menceritakan kesuksesan mereka, supaya menjadi pusat perhatian bagi orang lain. Konsep ‘sayalah yang hebat’ menjadi begitu nyata dari beberapa individu yang dijumpai. Akibatnya, ketika Self Centered ini menjadi kebiasaan, maka akan agak sulit untuk menghargai waktu orang lain dihadapannya.

Orang seperti ini, biasanya, hanya memiliki cerita-cerita yang sama, yang diulang-ulang kepada berbagai orang, yang ditemuinya, untuk mengatakan bahwa ‘sayalah yang hebat.’ Implikasi cerita yang bersifat Self Centered ini membuat orang lain kecut dan tidak berani bertukar cerita, melainkan hanya ingin terus memuji dan memuja diri yang sedang bercerita.

Also Read  The Day A Human Marries A Humanoid: What the World Would Be Like

Karena itu, mereka yang memiliki perilaku Self Centered cenderung harus dipahami sebagai implikasi penyakit sosial yang harus diobati melalui menyimak ceritanya. Cerita yang dijual lalu dijadikan sebagai bahagian dari Self Marketing (marketing diri). Mereka mampu menjual, jika bukan melelang, diri mereka untuk kepentingan tertentu dalam benak terdalam.

Bagi mereka yang mengalami Midlife Crisis tentu ketika bertemu dengan mereka yang Self Centered akan terasa perih dan pedih ketika terus banyak menyimak kesuksesan orang lain. Terlebih jika seseorang tersebut mengalami Self Centered melalui pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang lain, seolah-olah berpikir, daripada tidak mampu menjawab, lebih baik mendengarkan cerita orang tersebut.

Akibatnya, mereka yang sedang baper dengan masalah dirinya sendiri, cenderung akan semakin terintimidasi. Karena itu, ketika orang hebat mengatakan tidak mengetahui hal-hal yang akan membuatnya hebat, cenderung sangat susah diukur kualitas dirinya, sebagai seorang individu. Banyak mereka yang saya jumpai, mereka yang sedang mengalami Midlife Crisis cenderung tidak berani bertemu dengan mereka yang selalu bersikap Self Centered.

Self Centered dalam Dunia Kerja

Pernahkah anda bertemu dengan seseorang yang hanya bercerita tentang kisahnya saja, selama berjam-jam?  Anda harus diminta untuk memahami setiap cerita kesuksesannya secara bertubi-tubi. Anda harus mengatakan “iya…iya…iya…” Anda juga harus memujinya berulang kali. Dalam hal ini, seni memuji pun harus diakali, supaya diksi pujian tidak monoton.

Karena itu, ketika saya bekerja di luar negeri, mereka yang paham akan Self Centered akan mengatur cara memuji, supaya pujian pertama tidak terlalu tinggi, khawatir akan tidak ada lagi pujian di akhir pertemuan.  Kita dapat mengetahui mana pujian yang dari hati dan mana pujian yang itu adalah basa basi tingkat tinggi. Mimik wajah. Sorot mata. Intonasi. Tiga hal ini dapat dijadikan sebagai ilmu rasa untuk melihat dari sikap seseorang yang memuji atau mengapresiasi.

Memuji untuk mereka yang memiliki kecenderungan Self Centered adalah dua hal yang tidak akan dihindari. Cerita atau narasi yang Self Centered ini akan terus menjadikannya sebagai bintang lapangan (field star). Dalam bahasa Aceh, ada ungkapan yang sering diperdengarkan di kampung yaitu ta peu ek ujong peu tek (kita naikkan ke ujung pohon pepaya). Ini adalah sindirian bahwa pujian tersebut akan mematikan kesan dari seseorang tersebut dalam arena sosial.

Also Read  How is Sociology of Body in Cyberspace: Lesson Learned from Deddy Corbuzier, An Indonesian Influencer

Karena itu, mereka yang suka bercerita tentang kehebatan diri sendiri cenderung akan dibiarkan. Tidak akan dibantah. Setelah itu, mereka yang paham, akan saling melirik, sambil berkata harus ta peu ek u jong peutek (harus kita naikkan ke ujung pohon pepaya). Disinilah, terkadang orang mulai menghindari untuk bertemu dengan orang yang suka Self Centered. Kalau di kampung, hal ini sangat biasa. Namun bagaimana kalau di dunia kerja?

Tentu kita akan menikmati mereka yang Self Centered. Ketika saya berjumpa dengan Guru Saya, Prof. Joel S. Kahn. Dia selalu memulai untuk mengatakan bahwa: “I don’t know anything.” Dia pun sangat jarang memuji saya sebagai mahasiswa. Guru saya, Prof. Akh. Minhaji selalu mengatakan: “Anda belum hebat di depan saya.” Lalu dia memberikan nasihat apa yang harus saya benahi di dalam pencapaian akademik. Setelah mencapai apa yang dia nasihatkan, tetap dia mengatakan bahwa: “Anda belum hebat.” Bagi saya, guru yang baik adalah mereka yang tahu cara menghadapi muridnya.

Karena tidak hidup di alam pujian, maka semua cerita saya yang mengarah pada Self Centered akan meleleh di hadapan mereka. Tidak ada artinya sama sekali. Tetapi tentu konteknya berbeda sekarang, dimana medsos menjad etalase pajangan kesuksesan seseorang untuk mengatakan dia adalah orang hebat. Selembar foto akan menjadikan netizen tahu siapa dirinya. Ratusan ribu like akan membuat dirinya memang dikenal sebagai influencer di alam maya.

Begitulah dilema kita dengan kehidupan sekarang dengan fenomena Self Centered dan Self Marketing yang begitu massif di media sosial.

Gelisah Karena Midlife Crisis

Kita kembali ke Midlife Crisis. Mereka terkadang saleh, tetapi selalu haus akan jabatan dan pengakuan yang menjadi impian mereka. Mereka orang hebat, tetapi selalu menganggap kurang, terhadap apa yang sudah didapatkan dalam kehidupan mereka. Mereka gelisah. Terlebih jika mereka sudah mulai menua.

Also Read  The Secret of How Do I Become a Reading Addictive Before I Meet Google

Ketika melihat anak yang sukses tidak melihat dirinya ada dibalik kesuksesan anaknya. Ketika melihat menantu yang sudah mulai mengambil waktu anak-anaknya. Ketika ke kantor, tidak ada yang menyapa dirinya. Ketika melirik rekening, sudah terkuras oleh angsuran kredit. Ketika melihat kendaraannya masih jauh kelasnya dibawah junior-juniornya. Ketika melihat teman dekatnya yang dipromosikan, sementara dia tidak. Ketika melihat orang lain selalu posting perjalanan keluar negeri di papan Facebooknya.

Semua hal di atas menyebabkan seseorang akan mengalami proses Midlife Crisis. Semakin dia melihat orang lain, terutama yang dekat atau dibawah umurnya, sukses, semakin susah dirinya. Sehingga berbagai penyakit mulai datang. Asam lambung kerap naik. Penyakit migran mulai menyapa. Cenderung emosional ketika bertutur kata. Akibatnya, mereka ini cenderung pergi di usia muda.

Prof. Joel Khan adalah anak daripada Prof. Alfred E. Kahn. Ketika orang tuanya meninggal, dia mengatakan kepada saya bahwa Ayahnya menjalani hidup dengan happy life (hidup yang bahagia). Definisi happy life, memang tidak diberikan ceritanya kepada saya. Karena Guru saya ini tidak senang menceritakan sisi kehidupan keluarganya. Namun saya dapat menangkap bahwa kesederhanaan dan kebahagian adalah obat daripada penyakit Midlife Crisis.

Dua hal di atas tentu sangat sulit dicapai, walaupun seseorang bolak balik ke rumah ibadah. Kebahagiaan, menurut satu cerita, akan bergeser, ketika sudah digapai dalam satu episode kehidupan. Bahagia itu adalah puncak doa dari seorang Muslim yaitu hasanah. Inilah sebenarnya obat dari Midlife Crisis. Bagaimana kita mendefinisikan kebahagian.

Kesimpulan

Sebagai akhir dari esai ini, saya ingin mengatakan bahwa Self Centered dan Midlife Crisis adalah dua hal yang hidup di dalam diri manusia. Semakin kuat anda dengan penyakit Self Centered, semakin cepat pula anda merasakan baper kalau anda tidak dikatakan hebat. Semakin kuat pengaruh Midlife Crisis pada anda, semakin jauh pula kebahagiaan hidup yang anda kejar bersama-sama orang-orang terdekat anda sendiri.

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button