Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Community

Peusom Salah, Peuleumah Saleh

Memahami Etika Sosial dalam Kehidupan Beragama

Pendahuluan

Dalam esai ini, saya tertarik mengulas tentang wajah beragama yang dikenal dengan ungkapan Som Salah, Peuleumah Saleh (Menyembunyikan Kesalahan, Menampakkan Kesalehan). Ini tentu terkait dengan cara memahami etika sosial dan kehidupan beragama. Tentu penyakit sosial ini sangat boleh jadi terjadi pada siapapun, termasuk saya di dalamnya.

Dalam memahami ungkapan Som Salah, Peuleumah Saleh ini akan banyak cerita dari berbagai kalangan yang terhimpun dalam memori saya, selama bergaul dengan berbagai kalangan. Tentu saja, model narasi ini bukan hendak mengumbar aib seseorang, melainkan ketika seseorang seolah-olah menjadi pembela kebenaran, padahal dia adalah sosok yang menginjak-injak kebenaran, bahkan memberangus etika, nilai, dan moralitas di dalam memutuskan segala tindakannya yang kontraproduktif.

Kesalehan Sosial Versus Kesalehan Individu

Baru-baru ini, saya diminta untuk RRI Banda Aceh, untuk mengupas tentang salah satu tema penting dalam kehidupan beragama yaitu kesalehan sosial. Konsep ini mengandaikan bahwa siapapun individu dapat berbuat baik dalam masyarakat. Karena itu, ketika kesalehan sosial ini menjadi gerakan sosial dan kebudayaan, maka lapisan-lapisan etika, moral, dan nilai dapat dihidupkan dalam masyarakat.

Selama ini, kesalehan sosial menjadi begitu asing dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih menampakkan kesalehan individu mereka, sebab akan memunculkan pengakuan pada setiap hasil kebaikan yang mereka semai. Saleh secara individu memang menjadi dakwah dari setiap tujuan beragama. Namun kesalehan sosial cenderung tidak menjadi dakwah sosial di dalam kehidupan ummat beragama dewasa ini.

Akibatnya, dominasi kesalehan individu menjadi semacam potret kehidupan beragama. Dulu Kuntowijoyo pernah menyinggungnya dalam buku Muslim Tanpa Masjid, dimana seseorang hanya memikirkan kesalehan individu semata, sangat jarang memikirkan kesalehan secara sosial. Karena itu, semua orang hendak mementingkan kesalehan individu semata.

Also Read  Pelepasan Mahasiswa Magang Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry oleh Dubes RI Bangkok, Thailand

Buku ini menceritakan bagaimana mereka yang tampil di dalam kehidupan sosial, lebih mementingkan kepuasan spiritualnya semata, tidak pernah mementingkan kepuasaan spiritual sosial. Bahkan dewasa ini, kesalehan individu ini akan bersentuhan dengan kepuasan secara material. Tidak hanya itu, kesalehan individu ini juga dapat menjadi bagian penting dari komodifikasi agama. Dengan kata lain, agama menjadi barang dagangan, sebab dengan memanfaatkan agama, dia akan menaikkan pendapatan atau harta yang melimpah.

Sebagai contoh, untuk mengundang seseorang, maka perlu membayar sekian dan sekian. Jika tidak mampu membayar, maka manajemennya tidak akan memberikan waktu bagi sosok tersebut untuk tampil di hadapan khalayak. Sehingga, mereka harus membayar, sebagai bagian dari transaksi yang harus dilunasi, baik sebelum acara dimulai atau sesudahnya. Faktor agama komoditi sudah banyak dikaji oleh para peneliti.

Som Salah, Peuleumah Saleh

Dalam beberapa bulan terakhir, saya kerap menerima komplain dari karib atas perilaku beberapa individu yang menurut mereka terlalu banyak mengumbar kesalehan di depan publik. Dia seolah-olah menjadi pejuang kebaikan di hadapan publik. Tutur kata mereka sangat manis. Kutipan dalil sangat fantastis. Undangan berceramah sangat laris. Namun, perilaku keseharian mereka sangat miris.

Aib seseorang memang tidak baik diumbar. Umat diminta untuk tidak membuka keburukan seseorang. Akan tetapi, ketika sosok tertentu terlalu banyak bicara tentang kebaikan atau budi yang harus dijalankan, sedangkan perilaku keseharian mereka berlawanan dengan pesan kenabian yang mereka sampaikan, maka ini menjadi penyakit baru di dalam kehidupan sosial beragama.

Orang di atas mimbar, berkoar-koar, jamaah bukan menyimak pesan kenabian, tetapi membayangkan keburukan yang dilakukan oleh sosok tersebut. Inilah mengapa beberapa karib saya selalu mengatakan bahwa sering kita som salah, peuleumah saleh. Kita kerap menampakkan kesalehan kita di depan publik. Tentu rasa hormat yang akan didapatkan, sekaligus dengan dampak ekonomi pada sosok tersebut.

Also Read  Tren Umat Islam di Negara-Negara Barat

Akan tetapi, jika ini menjadi pembiaran, dimana orang yang menyampaikan pesan keagamaan, rupanya merekalah yang terdepan di dalam menginjak-injak nilai-nilai agama, maka ini menjadi sebab dari musibah kehidupan beragama. Cerita para sufi yang menutup menutup kesalehan mereka adalah hal yang sangat tidak lazim dijumpai dewasa ini.

Dengan kata lain, som saleh peleumah salah menjadi pemandangan yang tidak biasa. Mereka yang memiliki kesalehan justru selalu mengingat aibnya sendiri. Sehingga tidak berani membicarakan tentang kebaikan di depan publik, karena banyak maksiat yang telah dilakukan selama hidupnya. Ini tentu tidak akan dijumpai dalam kehidupan beragama dewasa ini.

Seseorang yang selalu ingat bahwa dia pendosa, maka dia tidak akan naik ke mimbar bicara tentang keburukan orang lain. Sebab dia tidak lebih baik daripada orang yang sedang dibicarakan di atas mimbar. Karena itu, mereka yang paham akan etika, moral, dan nilai, tentu tidak akan semena-mena membicarakan tentang dalil-dalil agama. Karena sesungguhnya, dialah yang paling pertama di dalam melanggaran aturan agama.

Mereka yang masih sudah dengan sesuatu yang tidak halal dari pendapatan yang dibawa kepada keluarganya, tentu tidak perlu berbicara tentang kehidupan berumah tangga secara baik. Mereka yang masih suka dengan hasad dan dengki, tentu tidak pada tempatnya mengajak orang lain untuk berbaik baik, sambil menggoyang-goyang mimbar. Mereka yang belum sepehunya taat pada isi kitab suci, tentu harus belajar terlebih dahulu mempraktikkan bagi dirinya sendiri, sebelum menggunakan kitab suci untuk menyalahkan orang lain. Mereka yang ingin meniru kehidupan Nabi, harus mampu hidup secara akhlak dari perilaku Nabi.

Jadi, berbuat kesalehan bukan dilakukan seperti kapan kita harus minum, saat haus. Kesalehan itu tentang seperti seorang musafir di tengah gurun pasir, yang terus merasakan dahaga, karena tujuannya belum sampai. Kesalehan sosial pun demikian. Jika kita masih pamer kebaikan dan memerlukan rasa hormat dari pihak lain, maka kita sebenarnya menjadi penghalang kesalehan sosial, walaupun kita mengklaim diri kita sebagai pembela kebenaran.

Also Read  Masyarakat Rasional Versus Masyarakat Emosional

Kesimpulan

Akhirnya, esai ini hanyalah sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, yang terkadang merasakan masih sangat sedikit kebaikan yang ditanam. Pada saat yang sama, masih terlalu banyak keburukan yang dilakukan. Sehingga berharap tidak ada penyakit Som Salah Peuleumah Saleh. Karena itu, segala pujian sebagai akibat dari perilaku kebaikan, harus ditimbang dengan betapa beratnya timbangan yang berisi keburukan, baik yang dilakukan secara lahir, maupun batin.

 

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button
%d bloggers like this: