Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Geopolitics

Bagaimana Strategi untuk Menghadap Era Ketidakpastian

Salah satu isu utama di masa depan adalah mempersiapkan umat manusia menghadapi era baru yang dikenal dengan era ketidakpastian (uncertainty). Para sarjana telah meramalkan bahwa setelah bencana Covid-19 menimpa manusia di seluruh penjuru bumi, masalah ketidakpastian akan menjadi masalah besar bagi masyarakat global.

Situasi global seperti masalah ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan memicu ketidakpastian tersebut. Oleh karena itu, umat Islam harus menyikapi situasi ini dengan berbagai cara strategis; di tahun-tahun mendatang, generasi muda akan menjadi pemain baru di kancah global.

Mereka telah menjadi aktor baru di dunia maya. Mereka juga bisa menjadi influencer yang kemudian dijadikan idola baru. Dalam hal ini, gerakan sipil sangat penting dalam memberikan dan mengadvokasi kesadaran generasi muda agar siap menghadapi era ketidakpastian ini.

Sementara itu, konflik di beberapa negara tidak memikirkan dampaknya bagi generasi muda di dunia maya. Krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, perang, dan masalah sosial budaya, perhatian perlu diberikan untuk menjadi landasan bagi negara yang akan datang.

Semua krisis di atas memerlukan kestabilan, supaya perjalanan sejarah dunia di masa yang akan datang berjalan dengan penuh keharmonisan.

Dalam hal ini, transfer of wisdom dari generasi tua ke generasi muda sangatlah penting. Demikian pula advokasi dan perhatian generasi muda terhadap isu-isu kemanusiaan perlu ditekankan. Memahami masalah hak asasi manusia diperlukan. Karena kemajuan teknologi, kemunculan Humanoid dan Cyborg juga perlu disampaikan kepada generasi muda.

Karena itu, organisasi masyarakat sipil perlu memikirkan hal-hal kekinian yang berdampak pada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep yang ditawarkan harus mampu memberikan kesadaran. Gerakan atau aksi yang ingin dikedepankan harus dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemberdayaan kelompok masyarakat tidak lagi segmental. Aktor sosial dan budaya harus menemukan benang merah agar setiap masalah dapat disikapi dengan bijak. Semua pihak harus mempertimbangkan semua lapisan dari proses rekayasa sosial ini.

Also Read  Top 5 Best Seller Books on Geopolitics

Lebih dari itu, kerjasama antar aktor non-negara untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik harus segera dilakukan. Selama ini, aktor-aktor non-negara telah menunjukkan perannya yang signifikan dalam momen-momen kritis peristiwa global dalam beberapa dekade terakhir. Mereka tidak lagi hanya memikirkan kepentingan kelompok tetapi kepentingan universal. Untuk itu, mengidentifikasi masalah global dengan aktor non-negara menjadi penting segera.

Peperangan di Ukraina menyisakan masalah kemanusiaan. Isu imigran di Eropa membawa dampak masalah sosial di negara-negara Eropa. Ambisi Cina telah menyebabkan ketidakstabilan global dalam persoalan ekonomi. Persoalan terorisme terus mengancam keamanan global. Persoalan di Laut Cina Selatan akan menjadi bom waktu bagi negara-negara di sekitarnya.

Saya telah mencoba memberikan analisa terhadap kasus terkini, baik di peringkat internasional, regional, dan nasional. Analisa ini tentu akan memberikan masukan bagi siapa saja untuk memahami strategi apa yang akan digunakan untuk menghadapi era ketidakpastian.

Para ahli yang menulis tentang Sejarah Masa Depan memang sangat jarang memberikan perhatian pada persoalan agama. Namun peran agama tampaknya selalu dinantikan. Dalam hal ini, Francis Fukuyama dalam Our Posthuman Future, menjelaskan skenario besar dalam dunia bioteknologi terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang.[1]  Dia menuturkan bahwa: “Scientist have dared to produce a full-scale chimera, half human and half ape, though they could; but young people begin to suspect that class-mates who do much less well than they do are in fact genetically not fully human.[2] Ketika memulai alenia baru, Fukuyama menulis: “Sorry, but your soul just died…”[3] Tahun 2002, Fukuyama menggambarkan tentang kemampuan membuat ‘setengah manusia dan setengah kera,’ di tahun 2022, tampaknya, manusia tampaknya tidak lagi menarik disejajarkan dengan hewan, tetapi dengan teknologi, yaitu setengah manusia, setengah mesin.

Also Read  7 Lessons Learned from Sri Lanka's Fall in Debt to the Chinese Government

Karena itu, kalau pun benar yang terjadi, yaitu “your soul just died,” karena akibat dari manusia menjadi mesin atau sebaliknya, maka dapat diprediksi bahwa persoalan jiwa akan menjadi salah satu persoalan di masa depan. Beberapa karya tentang masa depan, kerap melihat agama sebagai sesuatu yang akan mengganggu kehidupan umat manusia. Eric Schmidt dan Jared Cohen menuturkan bahwa: “Sudden access to technology does not is and of itself enable radicalized individual to become cyber terrorists.”[4] Jadi, gangguan kemanusiaan oleh pengaruh teknologi terhadap keagamaan tampaknya, akan memberikan efek yang kontraproduktif. Dalam hal ini, tidak berlebihan ketika Marc Goodman mengucapkan kalimat berikut ini: “Welcome to the new  normal, a world which for every screen in your life governments, criminals, terrorists, and hacktivists, have a plan of attack.”[5]

Sementara itu, Yuval Noah Harari malah menyebutkan sebaliknya, bahwa: “No matter how technology will develop, we can expect that arguments’ about religious identities and rituals will continue to influence the use of new technologies and might well retain the power to set the world ablaze.”[6] Pendapat Yuval ini menarik untuk dicermati, sebab dia memberikan tekanan pada penggunaan teknologi yang dipengaruhi oleh agama. Karena itu, penggunaan teknologi dalam berbagai variannya, tentu sangat akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi keberadaan agama itu sendiri.

Jadi, kehadiran studi ini para prinsipnya ingin mengajak pada pembaca untuk memahami bagaimana memosisikan studi Islam dalam peradaban baru ini. Awalnya, studi Islam berhadapan dengan era modern. Kolonialisasi dan imperialisme menjadi pintu utama, ketika studi ini sudah dikenali berbagai pelosok penjuru bumi. Sementara itu, ketika era post-modern, studi Islam pun bangkit mengisi berbagai kekosongan akademis, sebagai yang sajikan dalam karya Akbar S. Ahmed.[7] Edward Said pun hadir dengan meluruskan berbagai pandangan terhadap Islam yang sudah disajikan oleh para penstudi Islam di Barat. Demikian pula, ketika globalisasi diperkenalkan sebagai ‘bayi’ peradaban modern dan post-modern, studi Islam pun hadir menyapanya. Saat ini, ujung dari peradaban baru yakni Peradaban Planetari yang serba terkoneksi, sudah selayaknya studi Islam hadir untuk memberikan kontribusinya.

Also Read  What is the Chinese Government's Strategy in the 2024 Presidential Election?

[1] (Fukuyama 2002, 8–9)

[2] (Fukuyama 2002, 9)

[3] (Fukuyama 2002, 9)

[4] (Schmidt dan Cohen 2014, 165)

[5] (Goodman 2016, 245)

[6] (Harari 2018, 138)

[7] (Ahmed 1992)

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). He is based in Banda Aceh and can be reached at ceninnets@yahoo.com.au

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button