Studi Islam dalam Pusaran Islamopobhia
Jasa Intelektual Muslim dalam Peradaban Ilmu

Studi Islam (Islamic Studies) adalah salah satu disiplin ilmu yang paling dinamis, dibandingkan dengan studi-studi lainnya. Hal ini disebabkan studi ini selalu dikaji, tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh non-Muslim. Kenyataan tersebut mengakibatkan studi Islam selalu menjadi perbincangan di kalangan para ahli atau ilmuwan dunia. Perkembangan studi Islam pun semakin dinamis, khususnya ketika berhadapan dengan era digital. Khazanah Islam sudah masuk ke alam maya. Tidak hanya itu, studi Islam juga sudah akrab dengan berbagai isu global yang melanda dunia saat ini.
Sifat elastisitas studi Islam menyebabkan Islam semakin digemari untuk dipelajari oleh siapapun. Kendati dinamikanya membawa terkadang pada situasi Islamophobia, tetapi studi Islam selalu memberikan jawaban terhadap masalah kekinian. Perjalanan sejarah studi Islam, yang dibawa oleh para ‘ulama, secara historis juga telah mengubah kebudayaan di beberapa kawasan yang disinggahinya. Karena itu, Islam merupakan salah satu agama di dunia, yang paling cepat penyebarannya. Dengan kata lain, studi Islam juga mengalami proses yang sama, yakni secara massif perkembangannya.
Dalam hal ini, para ‘ulama telah memberikan narasi akademis yang cukup komprehensif. Karya-karya mereka dibaca di seluruh penjuru dunia. Bidang keilmuan dalam studi Islam pun dihasilkan melalui berbagai perenungan para ‘ulama tempoe doeloe, yang kemudian diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perkembangan keilmuan ini juga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan peradaban dunia (world civilization).[1]
Pola pembagian keilmuan dalam studi Islam tidak mono atau tunggal. Para sarjana telah mencoba membagikan berbagai disiplin ilmu dalam studi Islam. Pembagian ini mencoba memahami bagaimana hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta (cosmology). Tiga ranah besar ini menjadikan studi Islam mampu menerima berbagai perspektif tentang hal-hal yang berkaitan dengan Allah, manusia, dan alam semesta.
Hubungan manusia dengan Allah merupakan hubungan hamba dengan Tuhan-nya. Disini dikaji tentang Allah SWT, kerajaan-Nya, perintah-Nya, larangan-Nya, fasilitas yang diberikan oleh Nya di alam semesta dan hari kiamat, informasi keghaiban, dan kisah-kisah Rasul dan Nabi-Nya berikut dengan Kitab-Kitab yang pernah diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya. Semua ini menggambarkan bahwa cakupuan pengetahuan tentang Allah dan semua yang telah direncanakan-Nya, sangatlah luas sekali.
Demikian pula, jika objek studi Islam adalah manusia, maka studi tentang bagaimana menjalani kehidupan di dunia dan persiapan menuju akhirat juga tidak kalah luasnya. Berbagai disiplin ilmu yang muncul, seperti fikih, adalah salah satu bidang keilmuan yang paling luas. Proses kehidupan manusia menuju kepada kemanusiaan (humanity) pun sangat mendalam kajiannya dalam studi Islam (tasawuf).[2] Bagaimana keyakinan dibahas untuk memahami konsep-konsep keilahian juga sangat mendalam dan luas sekali cakupannya (‘ilm al-kalam). Karena itu, berbagai disiplin keilmuan dalam kajian Islam tampaknya memerlukan satu energi khusus (special energy) untuk mendalaminya. Para ‘ulama pada akhirnya mencoba membahas satu atau dua bidang keilmuan saja, dikarenakan begitu luas cakupan pembahasannya.
Ketika menjadikan alam semesta sebagai objek, para ilmuwan Islam pun menemukan berbagai temuan dalam beberapa disiplin keilmuan. Misalnya, ilmu astronomi telah memberikan kontribusi penting bagaimana memahami alam semesta dan fungsinya bagi manusia. Ilmu falak telah berhasil membantu manusia untuk menggunakan alam semesta sebagai panduan mereka untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Ilmu-ilmu kealaman dari Islam memberikan dampak yang luar biasa dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di dunia ini.[3]
Perkembangan ilmu-ilmu kealaman dapat dibaca, misalnya, dalam buku Science and Civilization in Islam, karya Seyyed Hossein Nasr. Dalam buku ini, Nasr menyoroti perkembangan sains, dengan memperkenalkan beberapa ‘ulama terkemuka, di antaranya: Jabir Ibn Hayyan (103/721 – 200/815), Abu Yusuf ibn Ishaq al-Kindi (185/801-260/873), Hunain ibn Ishaq (194/810 -263/877), Thabit ibn Qurrah (211/826 – 2888/901), Muhammad ibn Musa al-Khwarazmi (249/863), Muhammad ibn Zakaria al-Razi (251/865 -313/925) Abu Nasr al-Farabi (258/870-339/950), Abu al-Hasan al-Mas’udi (345/959), Abu ‘Ali al-Husain ibn Sina (370/980-428/1037), Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitham (354/965-430/1039), Abu Raihan al-Biruni (362/973-442/1051), Abu al-Qasim Maslah al-Majrifi (398/1007), Abu Hamid Muhammad al-Ghazzali (450/1058-505/1111), Abu al-Fath ‘Umar ibn Ibrahim al-Khayyami (Omar Khayyam) (429/1038-440/1048), Abu al-Walid Muhammad ibn Rushd (520/1126-595/1198), Nasir al-Din Al-Thusi (597/1201-672/1274), Qutb al-Din al-Shirazi (634/1236-710/1311), ‘Abd Rahmad Abu Zaid ibn Khaldun (732/1332-808/1406), dan Baha al-Din al-‘Amili (953/1546 – 1030/1621).[4]
Dengan demikian, mempelajari studi Islam dengan menjadikan objek studi Tuhan, Manusia, dan Alam, tampaknya akan memberikan suatu khazanah atau mozaik peradaban ilmu yang dihasilkan oleh umat Islam. Dalam konteks ini, pemikiran hukum Islam adalah produksi pemikiran ‘ulama yang paling produktif dalam khazanah intelektual Muslim. Karya-karya mereka lantas dikaji, ditelaah, dikomentari, dan disebarkan ke berbagai Kawasan Zona Muslim (Muslim Zone). Siraman pemikiran mereka semua berlandaskan apa yang menjadi ketentuan Allah SWT dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu, salah satu agama di dunia yang paling aktif menyebarkan perintah Tuhan dan Rasul-Nya adalah ummat Islam.
Tradisi intelektual Muslim seperti ini terkadang membuat para sarjana terkagum-kagum. Mereka berlomba-lomba melakukan berbagai studi terhadap karya-karya para ‘ulama.[5] Tentu saja, di sini konteks kesejarahan dan keintelektualan menjadi cukup penting, untuk memahami tradisi studi Islam yang memfokuskan pada kajian hukum Islam. Tradisi ini, selain menjadi produk intelektual, juga memberikan impak pada kajian ijtihad oleh para mujtahid.
Produk-produk pemikiran ini terus berkembang, walaupun kemudian terjadi era dimana dikenal sebagai ‘penutupan pintu ijtihad.’ Namun demikian, usaha untuk memberikan warna pemikiran hukum Islam terus dijalankan oleh para mujtahid. Para ‘ulama melalui strategi syarah dan hasyiyah terus memberikan pemahaman mereka yang kemudian dikenal dengan istilah fikih. Istilah fikih yang awalnya adalah ‘pemahaman’ berevolusi menjadi konsep yang sangat sakral dan dimuati oleh hal-hal yang bersifat ideologis.[6]
Tradisi di atas lantas menjadikan pemikiran hukum Islam begitu terstruktur dan dibakukan dengan berbagai aturan-aturan yang dikenal dengan istilah qaidah al-fiqhiyyah. Adapun konsep-konsep filosofis yang mengitarinya dikenal dengan kajian ushul al-fiqh. Akibatnya, teori-teori hukum Islam menjadi suatu bangun keilmuan yang sangat dinamis. Muncul berbagai aliran pemikiran yang memperkuat satu bangunan pemikiran yang kemudian dikenal dengan istilah madzhab (school of thought).
Studi ini mencoba memahami bagaimana konteks kekinian kajian Islam, jika dilihat dari perjalanan sejarah. Aspek produksi pemikiran hukum Islam semakin berkembang. Persoalan yang muncul sudah beragam. Organisasi atau badan yang menekuni hukum Islam, mulai dari lembaga-lembaga Pendidikan Islam (Islamic Education). Namun demikian, dalam konteks kekinian, persoalan kajian hukum Islam semakin memperlihatkan kebutuhan akan pemahaman yang dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ini, tidak berlebih ketika Brinkley Messick mengatakan bahwa: “In the West, the study of the shari’a, or Islamic law, was a key part of the old field of Oriental studies.”[7]
[1] (Nasr 2001)
[2] (Ridgeon 2021)
[3] (Nakosteen 2003)
[4] (Nasr 2001, 42–58)
[5] (Rosenthal 2007)
[6] Baca misalnya (Madjid 2020)
[7] (Messick 2016, 30)