Ketika kami menginap di Sebabi, kehadiran kami pun sudah diketahui oleh seoarang anak muda, yang merupakan putera dari pengelola Hotel Hanlis di Sebabi. Namanya Mahadi, seorang mahasiswa S-1 yang menekuni studi Filsafat di Universitas Indonesia. Dia mengabari bahwa dia sudah berada di Sebabi, sambil mengirimkan foto Nyak Ver. Artinya, pemuda ini tidak jauh berada dari penginapan Hotel Hanlis. Tidak lama kemudian seorang pemuda muncul di restoran hotel. Dia langsung memperkenalkan diri. Sopan. Itulah kesan yang terbaca dari pemuda ini. Dia juga menampakkan sertifikat dari BNPT, dimana pernah menjadi peserta salah satu program BNPT.
Dia jugamenceritakan bahwa pernah touring ke Papua. Lalu, pulang pergi Jakarta-Sebabi dengan sepeda motor. Rupanya orang tuanya ditunjuk oleh pemilik hotel sebagai pengelola. Walaupun demikian, keluarga Mahadi berasal dari Jakarta. Kendati baru jumpa sekejap, saya sudah merasakan bahwa anak muda ini punya talenta yang terdalam di dalam jiwanya. Dia pun menceritakan perkuliahannya di UI. Bagi saya, seorang yang hobi motor, kuliah filsafat, membantu orang tua di perantauan. Inilah sosok yang menarik dan unik. Suaranya sangat halus dan siap menyimak apapun.
Dari Mahadi saya bertanya mengenai pengalaman touringnya ke Papua. Dia memberikan begitu banyak informasi dan spot-spot yang akan kami lewati, untuk sampai ke Papua. Pengetahuan motornya pun tidak diragukan. Setelah hampir satu jam lebih bertukar cerita, dia mengatakan bahwa akan menemani kami ke Sampit. Di samping itu, ada juga biker setempat yang menghubungi kami untuk menemani perjalanan kami ke kota Sampit. Sekitar jam 10 kami pun berangkat dari hotel Hanlis. Namun sebelumnya kami sempat berfoto ria dengan ibu Mahadi yang juga tinggal di areal hotel tersebut.
Dari Sebabi ke Sampit jaraknya hanya 70 KM. Jadi hanya 2 jam perjalanan, tampaknya yang akan kami lintasi jalan trans Kalimantan. Mahadi menjadi ‘pengawal’ kami saat menuju ke Sampit. Tidak lama kemudian, ada biker yang menunggui kami di tengah-tengah perjalanan. Kami pun berangkat bersama-sama ke Sampit. Namun, hujan kembali menyapa perjalanan kami, hingga harus berhenti dari derasnya hujan. Ketika berhenti saya pun mulai belajar tentang dunia biker, dari Mahadi dan kawannya, Budiansyah. Saya mulai belajar beberapa istilah penting di dalam dunia biker, yaitu istilah ‘kondisikan’ dan ‘portal.’
Siang hari, walaupun tidak ada matahari, kami sampai di Kota Sampit sebagai ibu kota Kabupaten Kotawiringan Timur di Kalimantan Tengah. Budi dan Mahadi juga telah menghubungi komunitas motor di Sampit. Kami akhirnya bertemu di dalam guyuran hujan. Beberapa biker dari kota Sampit menemani kami sepanjang persinggahan di kota ini. Rencannya, kami hari itu juga akan menuju ke Palangkaraya, karena jaraknya tidak begitu jauh.
Akan tetapi, para biker kota Sampit ingin kami menikmati kota ini dan tidak melakukan perjalanan pada hari itu ke Palangkaraya. Akhirnya, kami di ajak ke tempat kuliner, kampung tradisional, dan menyusuri sungai di kota Sampit. Pada malamnya, kami diinapkan di check point Sampit oleh salah satu biker senior (Zulian) yang berasal dari komunitas biker yang paling legend di Indonesia, yakni: Biker Brotherhood 1 % . Jadi, kami diportal oleh komunitas biker Sampit. Mereka menceritakan bahwa biker Sampit sangat terkenal di kalangan para komunitas biker di Kalimantan. Mereka akan memberhentikan para biker yang melewati kota mereka. Jika ada kesempatan, akan ditemani untuk sekedar jalan-jalan di Sampit.
Siang hari kami diajak untuk menikmati kuliner dari seorang pemilik warung terkenal di kota Sampit. Nama warungnya adalah Cangkir Tua. Tidak sedikit biker yang singgah di warung Cangkir Tua tersebut. Pemilik warung berasal dari Pulau Jawa, yang sudah merantau ke Sampit. Sambil menikmati makan siang hari, kami bercengkrama tentang berbagai hal, termasuk latarbelakang masing-masing anak muda. Kesan kami saat berjumpa dengan anak-anak muda tersebut adalah sopan dan rendah hati. Hal yang sama kami jumpai pada sosok Mahadi dan Budiansyah.
Para biker muda ini tampaknya ingin kami menyusuri Sungai Mentaya. Sinyal bahwa kami tidak akan ke Palangkaraya semakin jelas, bahwa akhirnya saya memutuskan untuk menginap di Sampit malam tersebut. Setelah itu, kami pun diajak untuk melihat Patung Jelawat (Tugu Ikan Jelawat) yang merupakan spot khas daripada kota Sampit. Kota Sampit memang tidak begitu besar, namun tata kotanya sangat rapi. Sungai Mentaya menjadi pemandangan tersendiri, terutama ketika diajak ke Mentaya Seberang, dengan menaikkan sepeda motor ke atas perahu motor.
Kami melakukan riding ke Along Baniang di Mentaya Seberang, sebagai tempat rumah produksi seni dari kayu dan obat herbal
dari Bajakah. Kami disambut secara ramah oleh pemilik rumah seni tersebut. Banyak informasi kesehatan yang diberikan kepada kami oleh sesepuh Along Baniang. Tampak bahwa ada kearifan dan kosmologi lokal yang masih dipelihara oleh Keluarga Along Baniang. Hampir dua jam kami berada di Along Baniang. Di akhir kunjungan kami, dipertontonkan sajadah lama yang dibakar, namun sama sekali tidak hangus. Ini merupakan “hadiah” dari tuan rumah kepada kami, sebagai tamu jauh dari Banda Aceh.
Setelah itu, kami kembali ke penyeberangan untuk sampai di Kota Sampit. Begitu sampai di pelabuhan penyeberangan, oleh anak-anak muda biker Sampit, kami diajak wisata Susur Sungai Menyata dengan menggunakan Kelotok Besar.
Menyusur Sungai Mentaya merupakan wisata yang akan memperlihatkan bagaimana kehidupan di pinggir sungai, masyarakat Sampit. Harus diakui bahwa di Kalimantan, sungai merupakan salah satu sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Hampir 2 jam lebih kami menyempatkan diri melihat kehidupan di Sungai Mentaya. Setelah selesai, kami diajak untuk bertemu seseorang, yang merupakan biker senior di kota Sampit.