Sumber: https://theconversation.com/ |
Pada tanggal 7 Oktober
2002, saya menerima kiriman ISIM Newsletter dari Leiden, Belanda. ISIM sendiri
singkatan dari International Institute for the Study of Islam in the Moderns
World. Organisasi berupa memperkenalkan penelitian interdisiplinari dalam
memahami dinamika dan gerakan sosial kontemporer dan intelektual dalam masyarakat
Islam. Yang menarik dari edisi 10 ini adalah dimuatnya beberapa artikel yang
berkenaan dengan masyarakat Islam paska 11 September 2001.
Artikel-artikel tersebut berupaya menyoroti
bagaimana dinamika Barat dan Timur dalam mengkaji Islam setelah peristiwa
penyerangan terhadap WTC dan Pentagon. Namun, yang menarik bagi saya, ketika
para orientalis mengubah arah penelitian mereka dalam mendalami Islam selepas
tragedi 11 September 2001 tersebut. Jika sebelum tragedi 11 September 2001,
para sarjana Barat yang mengkaji Islam lebih banyak didasarkan pertanyaan
seperti ‘why we hate Muslim?’ atau ‘how we hate Muslim? Untuk menjawab dua
pertanyaan ini, para sarjana Barat kemudian dengan menggunakan pisau analisis
ilmu sosial “membedah” Islam dari berbagai sisi. Hasil-hasil penelitian ini
kemudian dipublikasikan seluruh dunia melalui konferensi, seminar, lokarya,
buku, jurnal, symposium dan lain sebagainya.
Tidak hanya disitu,
hasil-hasil penelitian itupun dipublikan dalam media massa Barat yang pada
gilirannya mengambarkan wajah Islam yang cukup ‘mengerikan.’ Sehingga para
pemimpin negara-negara Barat ketika menjadi presiden yang pertama kali
dilakukannya adalah bagaimana menentukan sikap terhadap negara-negara di
kawasan Timur Tengah. Negara mana saja yang perlu diajak berkawan dan mana pula
yang harus diperangi. Dengan demikian, pengaruh ‘why we hate Muslim’ ternyata
telah mengubah hubungan Islam dan Barat. Dalam hal ini, umat Islam sendiri
tidak tinggal diam. Bagi mereka yang militan, cara-cara Barat tersebut dipandang
akan mengancam keberadaan umat Islam di muka ini. Sehingga dalam meresponnya,
mereka cenderung memakai cara-cara yang radikal pula.
Mereka tidak melakukan
penelitian atau seminar seperti yang dilakukan Barat. Mereka hanya menghidupkan
‘usrah, halaqah, atau jama‘ah untuk membangkitkan semangat membenci Barat
dengan mengatasnamakan jihad. Akhirnya, dari kelompok ini melahirkan sikap
militansi yang radikal. Mereka rela mati demi Islam. Semangat inilah yang
kemudian menciptakan ketegangan-ketegangan di negara-negara Barat melalui bom
bunuh diri, penculikan, dan pembajakan pesawat. Di samping itu pula, para
sarjana Islam juga tidak tinggal diam.
Mereka kemudian belajar ke Barat. Secara
sistematik pula mereka berusaha meyakinkan Barat bahwa citra Islam yang mereka
bangun selama ini tidaklah benar sepenuhnya. Dalam hal ini, Muhammad Abed
Al-Jabiri (1999:73) mengatakan: How do we define term ‘Islam’ in the
expression ‘Europe and Islam’ which pairs two radically distinct realities, one
geographic (Europe) and the other religious (Islam)? Even assuming that ‘Islam’
refers to the countries professing that religion, do they constitute a coherent
whole? What is it that makes Iran, or Pakistan or even Egypt the presumed ally
of Sudan, or Indonesia or Morocco against Europe? Are relation between these
countries not characterized by their almost total independence from each other,
while all of them are connected to the West by ties dependency and neo-colonial
exploitation?
Selanjutnya,
puncak konflik tersebut memang selalu ditengarai setiap sepuluh tahun sekali.
Pada 1991 terjadi perang Teluk yang disebabkan oleh keinginan Iraq untuk
menginvansi Kuwait. Setelah Amerika Serikat turun tangan, maka seluruh tatanan
politik di Timur Tengah menjadi terjungkirbalik. Iraq harus menuai derita
selama sepuluh tahun lebih dengan berbagai embargo baik dari Amerika maupun
PBB. Hal ini tentu saja membangkitkan kemarahan di kalangan umat Islam.
Bagaimanapun, Iraq adalah negara Islam yang pernah memberikan kontribusinya
terhadap peradaban Islam.
Karena itu, berbagai upaya dilakukan oleh
kelompok Islam militan dalam menghadapi Barat. Salah satu puncaknya adalah
sepuluh tahun setelah perang Teluk yaitu tragedi 11 September 2001. Peristiwa
ini membukitkan bahwa apa yang dilakukan Amerika selama ini ternyata tidak
disukai oleh umat Islam dan (mungkin) umat selain agama Islam. Kejadian ini
telah membuka mata dunia bahwa negara-negara super power seperti Amerika dapat
ditaklukkan hanya dalam beberapa saat saja. Akibat dari tragedi tersebut, para sarjana
Barat yang menekuni studi Islam telah mengubah dasar mereka dari why we hate
Muslim ke why they [Muslim] hate us. Para sarjana Barat seakan-akan berkata
‘mengapa umat Islam membenci kita?’.
Setelah memunculkan
pertanyaan tersebut mereka juga bertanya ‘what we can do about it. Pertanyaan
ini kemudian melahirkan sikap Barat untuk menciptakan terma terorisme bagi
setiap ada kejadian yang berkaitan dengan negara-negara Barat. Semua aktivitas
tersebut dikaitkan dengan umat Islam melalui jaringan terorisme yang dijalankan
oleh al-Qaeda yang ditengarai memiliki jaringannya di beberapa negara Islam,
termasuk Indonesia.
Dalam konteks ini juga kita dapat menjawab
mengapa Bali di bom? Mengapa bukan Aceh, Maluku, Padang, Banten, atau Surabaya
yang nota bene daerah Islam. Sesungguhnya pertanyaan ini kemudian disusul oleh
pertanyaan semacam ini ‘why they like Bali. Mungkin selama ini, negara-negara
luar tidak begitu memperhatikan Indonesia yang luasnya dari Sabang sampai ke
Maroke. Bagi mereka Indonesia is Bali. Dan, Bali bagi mereka adalah paradise.
Namun bagi umat Islam, secara diam-diam, memandang bahwa Bali adalah neraka dan
mungkin membawa petaka bagi umat Islam di Indonesia.
Di Bali para turis
melakukan apa yang mereka kehendaki. Atas nama devisa negara, mereka dibolehkan
melakukan hal-hal yang dilarang oleh (semua) agama. Jadi, ketika Bali di Bom
pertanyaan yang muncul adalah why they hate Bali. Pertanyaan ini selayaknya
bukan ditujukan kepada umat tertentu. Namun pertanyaan tersebut mengindikasikan
bahwa konflik itu diciptakan untuk menyudutkan kelompok tertentu. Saya masih
ingat ketika Times berusaha sekuat tenaga paska 11 September 2001, mengambarkan
sosok Osamah Bin Laden sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas
peristiwa tersebut.